Rabu, 01 Februari 2012

TEOLOGI MODERAT Sebuah Suplemen Hidup Dan Penawar Frustasi

Pendahuluan
Arus globalisasi yang menimpa Bangsa kita tidak hanya membawa dampak positif, namun juga dibuntuti dengan dampak negatif. Diantaranya globalisasi telah mengajak manusia untuk lebih percaya pada "apa yang dicapai dan diketahui secara empirik", dan tidak perlu percaya bahwa "apa yang dicapai berdimensi spiritual". Agama dinilai tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi penetrasi ambiguitas manusia.

Syahdan, dalam setiap menyelesaikan problematika-problematika hidup, manusia bukan menjadikan Agama sebagai rujukan diagnosis, tapi malah sangat interdependen terhadap peran rasionalismenya. Keterjebakan manusia pada dimensi rasional ini, pada gilirannya akan membawa kepaham sekularisme yang berujung manusia akan melepaskan "baju Agamanya" dan mem"bunuh Allah" dalam kehidupan.

Waba`du, Ditengah-tengah arus globalisasi orang-orang banyak mengeluh kesah, putusasa, frustasi dengan beraneka ragamnya hingga bunuh diri, karena gagal dalam menggapai cita-cita. Kegagalan dan keberhasilan manusia dalam bertindak tidak bisa dilepaskan dari pembahasan teologi mengenai intervensi Tuhan dalam perbuatan manusia dan kebebasan manusia dalam bartindak.

Tulisan ini berusaha menegasikan persoalan tersebut menurut teropong ilmu Tauhid (teologi), guna merekonstruksi dan merenungkan kembali kepercayaan keagamaan

Intervensi Tuhan dalam perbuatan manusia merupakan persoalan yang bersifat metafisik, sehingga menjadikan manusia terkotak-kotak dalam memahaminya. Dari banyaknya pendapat -sebagaimana yang terekam dalam karya monumentalnya Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal- Penulis hanya akan menampilkan tiga pendapat saja.

Pertama; Mu`tazilah, menurut kelompok ini, Tuhan lepas tangan dalam kehendak dan perbuatan manusia, manusia memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak. Jagonya Washil Ibn ‘Atha [1] mengatakan: Allah adalah hakim yang maha adil, karenanya keburukan dan kedzaliman tidak dapat disandarkan kepadanya. Allah tidak mungkin menghendaki sesuatu dari manusia yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan-Nya. Allah juga mustahil menyiksa manusia karena melakukan suatu perbuatan yang bukan dari manusia sendiri, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik ataupun buruk, maksiat, kufur atau pun taat. Manusia akan menerima siksaan atau pahala atas perbuatan dzalim atau baik yang mereka lakukan. Dalam mempertahankan pendapatnya mereka membangun sejumlah argumentasi rasional yang diperkuat dengan dalil Naqli (Al-Qur`an).

Argumen rasional yang mereka gaungkan ialah jika perbuatan manusia merupakan perbuatan Tuhan -karena kekuasaan mutlak-Nya- niscaya perbuatan buruk juga perbuatan Tuhan, padahal Tuhan adalah sentral dari segala kebaikan, apalagi jika kita sadar –kata mereka- bahwa pada saatnya nanti Allah akan membalas perbuatan hamba-hamba-Nya, jika perbuatan manusia bukan perbuatannya sendiri, melainkan perbuatan Allah, berarti perlakuan Allah dalam menghukum para pelaku jahat dan dosa yang pada hakikatnya perbuatan Allah sendiri adalah suatu tindakan dzalim.[2]

Argumentasi di atas berdasarkan kalam Tuhan "Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". QS. 32 : 17 "Dan katakanlah; kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir ". QS. 18 : 29 dan "sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keaadaan yang ada pada diri mereka sendiri" QS. 13 : 11.

Kedua; Jabariyyah, menurut kelompok ini, manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam bertindak. Salah satu tokohnya Jaham Ibn Shafwan [3] mengatakan: manusia tidak memiliki daya, kehendak dan pilihan untuk berbuat, semua perbuatan manusia hanyalah paksaan Tuhan (Majbur), oleh karenanya manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, melainkan dalam arti majazi, sebagaimana yang terjadi pada benda mati, pohon berbuah, matahari terbit dan tenggelam, batu bergerak, langit berawan, hujan turun, biji-bijian tumbuh dan yang lainnya. Semua perbuatan manusia merupakan paksaan Tuhan yang harus diterima, termasuk melaksanakan kewajiban, menerima pahala dan siksaan (Taklif).[4]

Tak kalah garangnya dengan kelompok pertama, kelompok kedua juga menghamparkan pendapatnya pada firman Allah "Sebenarnya yang membunuh mereka bukanlah kamu, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar ". QS. 8 : 17. dan "Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui lagi maha bijaksana". QS. 76 : 30.

Ketiga; Asy`ariyyah (Ahl al-Sunnah) [5], menurut kelompok ini -yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari- Manusia disamping ikut andil dalam mewujudkan perbuatan, Allah juga ikut turun Tangan dalam merealisasikannya. Kelompok ini memposisikan Allah sebagai pencipta semua perbuatan sekaligus memberikan ruang kehendak kepada manusia (ikhtiar). Manusia tidak mutlak dapat berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri, juga tidak berpangku tangan secara total terhadap kehendak Tuhan tanpa diberi ruang inisiatif sedikitpun. Teori ini mereka menamakannya dengan al-Kasb.[6]

Teori al-Kasb bertalian erat dengan Qadha dan Qadar yang juga dibangun oleh kelompok ketiga (Ahl al-Sunnah). Menurutnya Qadha ialah keputusan Tuhan yang telah tercatat sejak zaman azali, sedangkan Qadar ialah manifestasi (perwujudan) dari Qadha. Di zaman Azali Allah sudah memutuskan (mentakdirkan) seseorang sebagai orang yang beruntung atau celaka, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, punya istri cantik atau jelek dan seterusnya. Namun manusa wajib selalu berusaha (ikhtiar) untuk menjadi manusia terbaik (insan kamil).

Perlu diwejangkan di sini, bahwa percaya kepada Takdir Tuhan tidak boleh lantas dijadikan sebagai kambing hitam dalam melakukan suatu perbuatan sebelum terlaksana. Sebagai contoh, seseorang menganggap dirinya telah ditakdirkan berbuat zina, dengan maksud agar keinginan nafsunya tercurahkan. Anggapan semacam ini sungguh amat keliru dan tersesat, karena secara tidak langsung dia mengaku telah membongkar rahasia Tuhan. Apa yang telah ia lakukan semata-mata atas dasar dorongan nafsu dan pilihan (ikhtiar) pribadinya, karena itu ia kelak pantas untuk disiksa sebagai balasan atas perbuatan yang telah ia lakukan.[7]

Kesimpulan
Kehendak dan perbuatan manusia -menurut Mu’tazilah- murni hasil karyanya sendiri (lepas dari campur Tangan Tuhan), pendapat ini secara tidak langsung telah menyingkirkan aktorisasi Tuhan, yang berdampak melahirkan sikap liberalisme yang tanpa disadari akan menjalar kesekulerisme dan kapitalisme dalam semua aspek kehidupan, yang menjunjung tinggi kebebasan individu untuk meraup kebahagiaan dunia setinggi-tingginya, lepas dari nilai-nilai sosial. Hal ini mendorong lahirnya masyarakat yang mengumbar hawa nafsu, ketamakan dan kerakusan, suatu masyarakat yang diancam oleh Tuhan akan dilempar kedalam api yang menyala. QS. 104 : 1-9.

Sedangkan menurut kelompok kedua (jabariyyah), perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, menurut kelompok ini, manusia tak ubahnya wayang yang dijogedkan oleh dalang. Pandangan demikian –hemat penulis- tak kalah bahayanya dengan kelompok pertama, yaitu akan berdampak menjadikan kemandulan etos kerja, melumpuhkan manusia untuk memperbaiki nasib “dari keterpurukan menuju kebebasan, dari keterbelakangan menuju kemajuan” dan pada giliranya akan memperkuat asumsi sebagian orang “bahwa Islam adalah Agama yang menghambat kemajuan”.

Terlepas dari berbagai keraguan dan kecurigaan –secara jujur hemat penulis teori ketiga ini masih perlu dikaji ulang- kelompok ketigalah yang sangat relevan dan wajib diyakini serta diamalkan di masa sekarang, karena disamping memberikan kebebasan dan kehendak kepada manusia, juga memposisikan Tuhan sebagai penentu, konsep ini mendorong manusia untuk selalu berusaha, berkarya dan berkreasi, namun berhasil atau tidaknya ada di tangan Tuhan.

Sungguh, konsep inilah yang harus ditanamkan di dalam hati. Karena Dengan kebebasan dan kehendak yang dimiliki, manusia terdorong untuk selalu berusaha menggapai cita-cita gemilang. Dan dengan berperannya Allah dalam memutuskan usaha, manusia akan sadar bahwa apa yang ia dapatkan dan apa yang tidak ia dapatkan, serta berhasil atau rugi dalam mengarungi samudra kehidupan untuk menuju pantai kebahagiaan atau kesusahan abadi (akhirat) semata-mata sudah menjadi suratan Tuhan (Takkdir). Konsep Teologi seperti inilah yang bisa menjadi suplemen hidup bagi manusia yang sedang malas dan frustasi, serta menjadi penawar frustasi bagi manusia yag sedang mengalami kegagalan dan keputusasaan. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

0 komentar:

Posting Komentar