Minggu, 05 Februari 2012

PESANTREN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Saya merasakan tema ini menyimpan sejumlah kegelisahan membatin dan panjang atas realitas kehidupan kebangsaan Indonesia yang terus masih dirundung nestapa yang makin hari makin parah. Kondisi kehidupan bersama masyarakat dalam Negara bangsa sedang mengalami krisis multidimensi yang akut. Berbagai problem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan terus mendera bangsa ini. Reformasi tahun 1998 yang semula diharapkan membukan jalan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik belum memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Alih-alih dapat memulihkan kondisi traumatic era pemerintahan orde baru yang sarat dengan citra dan praktik-praktik kekuasaan sentralistik, otoriter dan ademokratik, reformasi yang sudah berlangsung selama 13 tahun itu malahan menunjukkan wajah yang semakin muram. Sejumlah perubahan fundamental dalam struktur kenegaraan dan tata kelola pemerintahan desentralistik, dalam rangka demokratisasi yang lebih luas dan substansial, belum mampu melahirkan kondisi kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan sejak awal reformasi seakan-akan hanya menghasilkan perubahan Departemen menjadi Kementerian. Situasi paling fenomenal yang amat transparan adalah praktik-praktik korupsi yang endemic. Korupsi telah menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat dari atas sampai bawah. Setiap hari bangsa Indonesia disuguhi berita-berita di media masa berbagai modus korupsi dan suap-menyuap yang melibatkan para pengambil kebijakan publik-politik baik di pusat maupun daerah. Korupsi dan suap mengalami proses banalitas, menjadi kebiasaan yang dimaklumi (permisif) dan seakan-akan tidak dianggap salah dan berdosa besar.[1] Korupsi di manapun dan kapanpun merupakan praktik penghimpunan kekayaan/hak milik, atas dasar kekuasaan, demi keuntungan/kepentingan pribadi atau golongan melalui cara-cara perampasan atas hak-hak kesejahteraan masyarakat. Tak dapat ditolak bahwa Korupsi telah menciptakan kemiskinan dan penderitaan mereka. Meskipun telah ada aturan-aturan yang mengharamkan praktik ini, akan tetapi institusi-institusi hukum tampaknya belum atau tidak mampu mengatasi problem besar ini secara lebih signifikan. Dalam banyak kasus penanganan atasnya masih dikesankan tebang pilih dan tidak berkeadilan. Tekad dan janji para pemimpin negeri ini untuk menjadi pihak yang terdepan dalam pemberantasannya, belum membuahkan hasil.

Di luar itu, kekerasan atas nama agama dan moralitas acapkali terjadi. Negara seakan-akan dan acap kali terkesan membiarkan kekerasan itu berlangsung. Kelompok-kelompok keagamaan radikal acapkali memaksakan kehendaknya terhadap kelompok-kelompok lain melalui cara-cara kekerasan. Intoleransi antar agama tampak menonjol dan semakin meningkat. Sejumlah lembaga sosial yang bekerja untuk isu-isu ini telah mendokumentasikan pelanggaran kemanusiaan ini. The Wahid Institute, misalnya, mencatat pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2010 meningkat 45% dari tahun 2009, atau dari 35 menjadi 64 kasus. Sementara intoleransi dan diskriminasi juga meningkat, dari 93 kasus pada tahun 2009 menjadi 135 kasus pada tahun 2010, meningkat 31%.[2] Warga bangsa pemeluk agama mayoritas seakan-akan bisa melakukan tindakan apa saja terhadap warga bangsa minoritas. Ini menunjukkan bahwa jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami kemunduran.

Kerusuhan sosial dan konflik antar warga yang menelan banyak korban tak berdosa acap kali terjadi. Kriminalitas dan kejahatan kemanusiaan lainnya hampir terjadi setiap hari di banyak tempat. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, eksploitasi seksual, pelacuran, perdagangan manusia (trafiking). Komnas Perempuan dalam siaran Persnya 23 September 2011 menyebutkan sepanjang tahun 2010 ada 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan. 1/3 di antaranya adalah kekerasan seksual. Maka setiap hari ada 28 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Dalam beberapa hari terakhir, konflik antar suku dan atas nama agama yang menghancurkan infrastruktur sosial dan merenggut banyak korban manusia kembali terjadi di Ambon dan Papua.

Di tengah realitas kehidupan bangsa yang terpuruk dan sangat mengecewakan itu, kemudian muncul kelompok-kelompok sosial-keagamaan yang berusaha mencari jalan pintas mengusung pergantian system Negara-bangsa menjadi Negara Khilafah. Negara Khilafah dalam fakta sejarahnya adalah Negara teokrasi, sebuah system yang didasarkan pada agama tertentu. Dengan sistem ini kewarganegaraan seseorang akan didasarkan atas identitas agama penguasa. Identitas agama di luar agama penguasa akan dianggap sebagai orang asing dan warga negara kelas dua (the second citizen). Sistem ini bertentangan dengan system demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Jika ini terwujud, maka pilar-pilar Negara-bangsa (nation-state): Pancasila, Kebhinekaan dan Kesatuan Negara Bangsa (NKRI), yang dibangun dengan darah dan air mata, dan dijaga selama bertahun-tahun terancam musnah.

Kegagalan system Pendidikan

Sejumlah problem kebangsaan di atas adalah sebagian saja dari realitas Indonesia hari ini. Sejumlah tokoh menyebut situasi ini sebagai kegagalan berbangsa dan bernegara. Indonesia dianggap sebagai Negara gagal. Berbagai pihak lalu mencoba menganalisis keadaan yang carut-marut ini dan mencari akar masalahnya, dengan perspektifnya masing-masing. Pengamatan, pengkajian dan analisis pada umumnya menyimpulkan bahwa akar dari berbagai problem sosial, ekonomi dan politik kebangsaan tersebut adalah krisis moral atau rapuhnya karakter bangsa. Indonesia tengah mengalami degradasi karakter kebangsaan. Karakter Indonesia, yang sering disebut sebagai bangsa yang relegious, ramah, toleran, suka gotong royong dan sejenisnya, kini telah hilang. Boleh jadi hal ini akibat belum siapnya Negara dan bangsa ini menghadapi gempuran arus globalisasi.

Pertanyaan krusialnya adalah dari mana krisis dan rapuhnya karakter bangsa ini bersumber?. Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah Pendidikan. Ialah yang dalam segala zaman dan segala bangsa merupakan basis untuk menciptakan karakter bangsa dan peradaban manusia. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, seperti ketulusan, kejujuran, disiplin, ketekunan, penghargaan terhadap hak-hak manusia dan lain-lain, sebagai tujuan pendidikan mengalami proses marginalisasi yang demikian jauh.

Sejak beberapa waktu yang lampau, penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, lagi-lagi dalam banyak fakta, bukan dalam kerangka idealitas dan konseptualnya, lebih mengutamakan tuntutan-tuntutan formalisme dan procedural belaka. Pada sisi yang lain praktik pendidikan lebih memprioritaskan dimensi akal-rasional, dan mensubordinasi atau memarjinalkan dimensi pendidikan moral, budi pekerti atau dalam bahasa pesantren “akhlaq”. Pendidikan di negeri ini dibangun lebih dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis-pragmatis, individualistic, berjangka pendek, mencari kerja dan kepentingan materi.

Dampak lebih jauh dari pengelolaan pendidikan seperti di atas adalah lahirnya kecenderungan masyarakat baik secara individu maupun kelompok, golongan dan partai politik untuk melakukan kontestasi atau mungkin lebih dekat disebut “pertarungan” untuk meraih kekuasaan ekonomi, sosial dan politik. Kenyataan-kenyataan ini memperlihatkan kemunduran dan mendegradasi prinsip-prinsip pendidikan, makna dan idealisme pendidikan sendiri. Idealisme pendidikan seperti sudah disebut adalah menciptakan/ melahirkan generasi yang cerdas, berbudi, bertaqwa dan berguna bagi keadilan dan kemakmuran bangsa. Dan ujung dari proses degradasi dunia pendidikan ini pada gilirannya akan menyentuh nilai-nilai kebangsaan paling fundamental. Yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 berikut amandemennya, Kebhinekaan dan Kesatuan Bangsa. Keempatnya merupakan pilar-pilar Negara bangsa. Jika situasi pengabaian dan pelanggaran atas nilai-nilai kebangsaan ini terus berlangsung tanpa bisa diatasi dengan segera, maka bangsa Indonesia berada dalam ambang disintegrasi dan keruntuhannya.

0 komentar:

Posting Komentar