Rabu, 01 Februari 2012

AKIDAH, FILSAFAT dan TASAWUF Dalam Pandangan al Ghazai

Kajian ini akan membahas seputar akidah, filsafat dan tasawuf dalam perspektif al Ghazali dengan membedah karyanya yang berjudul al Munqidz min al Dhalal. Tulisan ini mencoba melakukan studi komparatif dan tidak hanya terpaku pada teks kitab sehingga tidak terkesan sebagai terjemahan kitab yang ada. Kitab yang penulis jadikan rujukan adalah Majmu’ah Rasa’il Imam Ghazali (kumpulan tesis-tesis al Ghazali) terbitan Dar al Kutub al Ilmiah. Didalam kitab tersebut memuat pelbagai judul risalah karangan al Ghazali termasuk kitab yang akan kita kaji. Al Munqidz min al Dhalal merupakan potret gejolak kejiwaan yang dialami al Ghazali ketika beliau menelusuri, kontemplasi (tafakur), dan melakukan pencarian yang mendalam tentang sebuah kebenaran.

Kata pengantar (taqdim) kitab tersebut ditulis oleh Ahmad Syamsuddin yang mengulas tentang riwayat singkat al Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al Ghazali. Ia dilahirkan di Thabiran, salah satu perkampungan kecil di Thawus, Khurasan (Iran) pada tahun 450 H/1058 M. Ia hidup di lingkungan yang miskin, bapaknya bekerja sebagai pemintal benang yang dijual di pasar Thawus. Sang Ayah tutup usia sebelum al Ghazali menginjak baligh (hlm. 5).

Sejak kecil al Ghazali belajar dasar-dasar gramatika Arab dan fikih kepada Imam Ahmad ibn Muhammad al Radzikani. Kemudian pindah ke Jurjan untuk nyantri kepada Abu Qosim Ismail ibn Mas’adah. Setelah itu, ia pindah lagi ke Naisabur untuk menimba ilmu fikih, ushul fikih, logika (mantiq), kalam (teologi) dan filsafat kepada Imam Haramain al Juwaini. Saat itu pula ia memulai kariernya di dunia tulis menulis dan mulai tumbuh benih-benih keraguan terhadap apa yang diyakini selama ini. Sehingga al Ghazali terdorong untuk melakukan petualangan dan pencarian sebuah kebenaran (hlm. 6).

Setelah Imam Haramain wafat tahun 478 H/1085 M, al Ghazali hijrah ke Iraq untuk mengajar di madrasah Nidzamiyah. Sejak itulah nama al Ghazali mulai berkibar di dunia intelektual. Popularitasnya kian memuncak setelah ia banyak menulis pelbagai buku. Ia tergolong pemikir yang produktif. Menurut penelitian Dr. Jamil dan Dr. Kamil ‘Ayyad karyanya mencapai 228 buku. Sementara menurut al Zubaidi—komentor (syarih) Ihya’ Ulumuddin—ada sekitar 80 buku dan versi al Subki karangannya kurang lebih 60 buku (hlm. 8).

Awal kegundahan al Ghazali
Di permulaan kitab tersebut, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al Ghazali. Proses pencarian kebenaran tidak semudah apa yang dibayangkan kebanyakan orang, melainkan butuh keberanian, kejujuran dan keseriusan.

Dengan jujur dan polos al Ghazali mengatakan bahwa sejak kecil ia selalu mempertanyakan tentang segala sesuatu. Secara alamiah rasa itu terus mengguncangnya. Sampai-sampai demi mendapatkan penilaian yang benar-benar obyektif, al Ghazali nekat melepaskan diri dari kungkungan taklid dan menjebol “benteng” akidah yang telah diterima sejak kecil. Kesadaran ini timbul karena al Ghazali melihat anak-anak orang Islam, Nasrani dan Yahudi hanya sekedar mengikuti doktrin ajaran orang tua masing-masing. Hal ini sebagaimana hadis Nabi “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci (fitrah). Kedua orangtuanya-lah yang telah menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, terbesit dalam benak al Ghazali untuk berpetualang mencari arti sebuah kebenaran. Untuk mendapatkan kebenaran sejati (ilmu yaqin) memerlukan sebuah proses sehingga apa yang dicapai benar-benar bisa di jadikan pijakan (hlm. 25-26). Al Ghazali mengambil sikap yang luar biasa berani, memasuki medan yang sangat terjal dan berbahaya.

Pola Pikir yang dipakai al Ghazali
Dalam ranah filsafat, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ada dua teori yang paling masyhur. Pertama, Rasionalisme yaitu aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal pikiran, rasio dan jiwa manusia. Kedua, Empirisme ialah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap oleh panca indera (Ilmu, Filsafat dan Agama hlm. 97).

Kedua teori di atas juga tak luput dari kajian al Ghazali. Namun, lagi-lagi al Ghazali menyangsikan kedua teori ini. Oleh sebab itu al Ghazali melakukan pengujian akan validitas kedua teori tersebut. Pertama-tama al Ghazali menguji kebenaran pengetahuan melalui empirisme (hissiyyat). Semisal data-data yang diterima oleh mata kita terhadap bintang-bintang di langit. Menurut penglihatan kita, bintang itu tampak kecil, sekecil uang logam (dinar). Tetapi berdasarkan ilmu geometri (handasah), bintang diangkasa jauh lebih besar daripada ukuran bumi. Ternyata pada faktanya data-data yang diterima oleh indera acapkali menipu dan bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya(hlm. 27).

Bermula dari ketidakpuasan terhadap teori empirisme (hissiyyat) ini memaksa al Ghazali untuk berpindah pada teori rasionalisme (dharuriyat). Menurut para penganut teori rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh akal rasional. Contoh pendekatan rasionalisme adalah bilangan sepuluh lebih besar dari pada tiga, antara kekal (qadim) dan perkara yang baru (hadits) tidak mungkin terkumpul dalam satu bagian.

Bukankah pengetahuan rasional (dharuriyat) lebih bisa diterima daripada pengetahuan empiris (hissiyyat) ?. Meskipun demikian, para penganut aliran empirisme mencoba melakukan pembelaan dan purifikasi. Karena pada dasarnya apa-apa yang diketahui melalui inderawi jauh lebih riil dan nyata ketimbang pengetahuan melalui otak yang bersifat abstrak.

Karena frustasi terhadap kedua teori filsafat yang saling serang antara satu dengan lainnya dan tidak mampu menyingkap tabir kebenaran, akhirnya al Ghazali kepincut dengan pendekatan ahli sufi. Menurut al Ghazali pengetahuan melalui mukasyafah (intuitif) dapat mengantarkan pada kebenaran sejati. Al Ghazali meyakinkan pendapatnya (pendekatan mukasyafah mampu mencapai kebenaran) dengan mengilustrasikan pengalaman mimpi. Ketika kita mimpi, kita bisa merasakan kejadian-kejadian yang berada diluar kenyataan inderawi. Namun ketika kita bangun dari tidur, pengalaman itu lenyap dan tidak kita jumpai dialam sadar. Kendatipun demikian, mimpi sulit dibantah keberadaannya.

Dengan kata lain, pendekatan mukasyafah (intuitif) jauh lebih riil ketimbang pendekatan dharuriyat (rasionalisme) dan hissiyyat (empirisme) yang problematis. Pengalaman intuitif inipun sebenarnya kerap kita jumpai dalam keadaan terjaga (bukan mimpi/tidur). Tatkala kita melamun, pikiran kita melayang kemana-mana dan kita sendiri tidak tahu apa yang kita kerjakan (hlm. 27-28). Ini membuktikan bahwa pengalaman bathin memang benar-benar ada.

Terlepas dari kitab al Munqidz min al Dhalal, kalau kita mau membandingkan, sebenarnya guncangan bathin yang dialami al Ghazali dalam mencari kebenaran ini serupa dengan keraguan yang dialami Rene Descartes. Pembeda antara kedua pemikir tersebut adalah bahwa al Ghazali mendapatkan nur ilahi sehingga menemukan kebenaran yang sebenarnya. Sementara filosof besar yang hidup pada tahun 1596-1850 M itu tersesat dalam perjalanan menuju kebenaran.

Dalam sejarah filsafat, Descartes dikenal sebagai bapak Rasionalisme. Jargon yang paling masyhur darinya adalah cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Hal itu dimaksudkan bahwa akal pikiran (cogitare) adalah sumber dari segala kebenaran. Descartes memposisikan rasio manusia pada tempat yang paling tinggi. Apabila manusia benar-benar mengikuti logikanya niscaya ia akan menemui kebenaran dan mampu menjawab pelbagai problematika. Hemat penulis, gagasan Descartes dalam jargonnya ini yang benar adalah sebaliknya. Kata yang tepat bukanlah karena aku berpikir maka aku ada, melainkan ‘karena aku ada, maka aku berpikir’. Dan konklusi akhirnya adalah Tuhan itu ada, maka akupun ada.

Ilmu Kalam (Teologi)
Setelah melakukan pergumulan yang cukup lama dengan ilmu tauhid dan menguasainya secara paripurna. Al Ghazali menulis sebuah buku khusus tentang disiplin ilmu ini. Tujuan ilmu tauhid adalah untuk menjaga akidah Ahlisunah dari pengaruh ahli bid’ah. Melalui lisan Rasulullah, Allah Swt menyampaikan akidah yang benar demi tegaknya kebajikan (mashalih) agama dan urusan dunia hamba-hambaNya. Lantas syaitan mencemari akidah tersebut melaui antek-anteknya (ahli bid’ah). Syaitan melontarkan rasa was-was pada ahli bid’ah tentang perkara ysng bertentangan dan tidak sesuai dengan al Sunnah, dan mampu mngecoh orang-orang yang berakidah benar. Dalam hal ini, tampillah para mutakallimin (teolog) melakukan purifikasi terhadap akidah yang telah ternodai dan membela al Sunnah agar tetap orisinil serta menguak kesesatan ahli bid’ah. (hlm. 23)

Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, para teolog justru hanya sibuk berapologi dan menanggapi tuduhan-tuduhan lawan mereka. Tidak berbicara pada substansi teologi yang menjadi tujuan awal ilmu tauhid. Bahkan mereka tenggelam dalam budaya pembebekan (taqlid), cenderung menerima apa adanya dan tidak lagi mencari kebenaran teologi.

Upaya untuk meluruskan akidah yang telah dirusak oleh ahli bid’ah ini adakalanya melalui taklid, konsensus (ijma’) umat atau sekedar menerima dari al Qur’an dan al Sunnah. Fanatisme yang berlebihan terhadap suatu golongan ini tidak akan membawa manfaat bagi penanut filasafat rasionalisme (dharuriyat). Karena mereka hanya akan menerima hal-hal yang masuk akal, melalui premis-premis rasional. Sementara para teolog hanya membela aliran masing-masing, bukan merasionalkan akidah.

Dengan sangat kecewa al Ghazali mengatakan ”falam yakun al kalamu fi haqqy kafiyan, wa la lida’i alladzi kuntu asykuhu syafiyan”. Yang artinya kurang lebih ”ilmu kalam bagiku tidak mencukupi, ia tidak bisa menjadi obat yang menyembuhkan keraguanku”. Dan akhirnya al Ghazali tidak puas dengan ilmu ini. (hlm.33)

Filsafat
Setelah rampung mengupas ilmu kalam, selanjutnya al Ghazali menelanjangi ilmu filsafat. Sebenarnya filsafat mempunyai beragam aliran, namun secara garis besar ada tiga golongan yaitu dahriyun, thabi’iyun, ilahiyun.

Pertama, atheisme (dahriyun) yaitu aliran yang sesuai dengan filsafat kuno dan tidak mempercayai adanya sang Pencipta. Mereka mengira bahwa alam dan kehidupan didalamnya ada dengan sendirinya. Mereka meyakini bahwa manusia berasal dari sperma dan sperma berasal dari manusia tanpa campur tangan sang Khaliq. Dan kehidupan akan kekal tiada akhir.

Kedua, naturalisme (thabi’iyun) adalah aliran filasafat yang lebih banyak membahas perubahan materi, makhluik hidup dan tumbuhan. Obyek kajiannya lebih terfokus pada struktur tubuh makhluk hidup. Penganut aliran ini masih mempercayai eksistensi Tuhan. Mereka mengira kekuatan manusia timbul dari dirinya sendiri. Mereka berpendapat bahwa manusia ketika sudah mati, maka berakhir pula perjalanan hidupnya. Mereka mengingkari kehidupan akhirat, surga, neraka, kiamat dan hisab atau penghitungan amal (hlm.35).

Dan yang terakhir adalah metafisika (ilahiyun). Para filosof yang masuk dalam sekte ini adalah Socrates, ia merupakan guru dari Plato. Plato merupakan guru dari Aristoteles. Aristoteles dikenal sebagai penggagas ilmu logika (mantiq). Aristoteles banyak mengkritik aliran filsafat sebelumnya yaitu dahriyun dan thabi’iyun. Aristoteles juga mngupas kesalahan berpikir Plato dan Socrates serta penganut filsafat metafisika (ilahiyun) sebelumnya.

Gagasan Aristoteles ini banyak digandrungi para filosof muslim seperti Ibnu Sina (370-428 H) dan al Farabi (260-339 H). Mereka semua menurut pandangan al Ghazali telah terjebak dalam jurang kesesatan (hlm. 36-37).

Kajian filsafat terdiri enam pembahasan yaitu riyadhiyah (meliputi matematika, geometri dll), mantiqiyah (logika), thabi’iyah (membahas tentang alam, langit perbintangan dll), ilahiyah (metafisika), siyasiyah (politik), khalqiyah (etika). Untuk kejelasan masing-masing aliran berikut kerancuannya, pembaca bisa merujuk dalam kitab aslinya. Karena saking panjangnya uraian al Ghazali, maka penulis tidak mengupasnya secara mendetail.

Tasawuf
Setelah menelan kekecewaan dari ilmu teologi (kalam) dan tidak terpuaskan oleh nalar para filosof, akhirnya al Ghazali berlabuh di dunia tasawuf. Menurut al Ghazali, mempelajari ilmu tasawuf itu lebih mudah daripada mengamalkannya. Ia mulai menggali ilmu tasawuf dengan banyak membaca buku-buku tasawuf seperti Qut al Qulub karya Abi Thalib al Makky, al Mutafariqat al Ma’tsurah kaya al Junaidi. Buku-buku lain yang di pelajarinya adalah milik Harits al Muhasibi, al Syibli, Abi Yazid al Basthomi dan tokoh-tokoh sufi lainnya (hlm. 57).

Ternyata substansi tasawuf bukanlah pada kajian ilmiah, melainkan pada tataran aplikasinya. Inti tasawuf bukan pada pengetahuan yang mendalam, tetapi melalui pengamalan (suluk) dan perasaan (dzauq). Kebahagian hakiki tak akan bisa digapai kecuali dengan taqwa, pengekangan hawa nafsu dan melakukan pemutusan hubungan antara hati dan dunia yang penuh penipuan. Setelah melakukan renungan yang dalam ternyata al Ghazali menyadari bahwa kegiatan ilmiah (mengajar di madrasah) yang dilakukan selama ini tak lain hanyalah memburu gelar dan status sosial (hlm. 59).

Hal itulah yang merangsang al Ghazali untuk menetap di Syam (Syiria) selama dua tahun. Al Ghazali mengasingkan diri (uzlah), menyepi (khulwah), tirakat (riyadhoh/mujahadah). Seharian penuh al Ghazali i’tikaf di masjid Damaskus dan mengurung diri di puncak menara masjid tersebut. Aktivitas tersebut dimaksudkan untuk membersihkan diri dan mensucikan hati sebagaimana jalur yang ditempuh oleh para ahli sufi. Al Ghazali melakukan safari haji dan ziarah makam Rasulullah. Untuk selanjutnya al Ghazali pindah ke daerah Hijaz (hlm. 61).

Selama kurang lebih sepuluh tahun al Ghazali menjalani kehidupan seperti itu. Sampai akhirnya dahaga intelektual benar-benar terpuaskan. Al Ghazali meyakini bahwa perjalanan ahli sufi adalah jalan yang terbaik dan paling benar, prilaku tasawuf adalah sebaik-baiknya akhlak (hlm. 63). Jalan hidup yang ditempuh al Ghazali merupakan sebuah petualangan intelektual yang sangat menakjubkan !.

Dengan hadirnya kajian ini, penulis berharap agar bisa dijadikan sebagai ”makanan” penuh gizi yang mampu membangkitkan kembali gairah intelektual para pemerhati kajian keislaman. Sehingga mampu mengembalikan kejayaan Islam seperti masa silam. Era keemasan Islam kembali terwujud dan bukan hanya sekedar kenangan manis. Semoga dan semoga !

0 komentar:

Posting Komentar