Minggu, 05 Februari 2012

Kiyai, Pesantren dan Pendidikan Karakter Bangsa

Pesantren sebagai bagian dari komunitas bangsa juga tak lepas dari pengaruh-pengaruh dinamika nasional yang sedang berlangsung saat ini dan terperangkap dalam gelombang globalisasi dengan seluruh nilai positif dan negatifnya. Dalam situasi belakang ini, Pesantren juga sedang menghadapi gerakan ideology keagamaan transnasional. Meski demikian, pesantren secara umum, paling tidak sampai hari ini, masih tetap eksis, baik secara institusional, tradisi-tradisi dan karakter-karakter yang dimilikinya. Dengan kata lain, sergapan globalisasi terhadap pesantren, yang tak bisa dihindarkan itu, sesungguhnya tidaklah menyentuh elemen ideologisnya, melainkan hanya pada penggunaan tekonologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan mungkin, politik. Lagi-lagi paling tidak sampai hari ini.

Pesantren acap dipahami secara sterotipe sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, ortodoks dan konservatif. Kendatipun pernah dianggap demikian oleh sebagian orang, akan tetapi realitas yang berjalan hingga dewasa ini menunjukkan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap survive dan masih tetap diminati oleh banyak anggota masyarakat. Ketika dewasa ini banyak orang tua yang kebingungan mencari lembaga pendidikan alternatif untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif modernisme dan globalisasi, maka satu dari sekian jawabannya adalah pendidikan model pesantren ini. Sampai hari ini pesantren memang masih dianggap atau dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sangat ketat dalam memproteksi para santrinya dari pengaruh-pengaruh produk modernitas yang buruk, terutama pergaulan bebas, kenakalan, narkoba, dan lain-lain.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang kiyai dan cendekiawan terkemuka Indonesia dalam penelitiannya yang tajam menyebut pesantren sebagai subkultur. Ini merupakan tesis Gus Dur yang sangat terkenal. Dalam penjelasan argumentatifnya Gus Dur mengemukakan bahwa pesantren, berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, memiliki paling tidak tiga elemen utama yang layak untuk menjadikannya sebagai sebuah subkultur. Yaitu : (1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara, (2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad, (dalam terminologi pesantren dikenal dengan kitab klasik atau Kitab Kuning) dan (3) sistem nilai (velue system) yang dianut.[3] Tiga komponen utama ini bukanlah unsur-unsur yang terpisah, melainkan saling terkait. Kiyai adalah pemimpin, penjaga dan pengarah unsure-unsur yang lainnya, sekaligus juga pengamal pertama atas kandungan “Kitab kuning”, sebuah buku agama yang pada umumnya diproduksi sekitar abad pertengahan. Kandungannya sarat dengan pandangan-pandangan keagamaan yang beragam dan nilai-nilai moral ketuhanan (spiritualisme). Ajaran-ajaran berikut nilai-nilai yang terkandung itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam komunitas Pesantren di bawah pengawasan dan bimbingan ketat Kiyai sepanjang hari dan sepanjang malam. Kiyai adalah tokoh sentral dan pemegang otoritas tunggal atas nasib pesantren. Hubungan antara kiyai dan santri diibaratkan bagaikan hubungan ayah dan anak. Kiyai adalah ayah dan pengasuh para santri dan kemudian komunitas sosial di sekitarnya. Sementara hubungan antar para santri bagaikan hubungan antar saudara dalam sebuah keluarga besar. Hubungan di antara kiyai dan santri dan antar para santri begitu akrab dan menyatu. Keakraban ini sangat dimungkinkan mengingat kiyai dan santri hidup dalam satu lingkungan (tempat tinggal). Pendikan Pesantren boleh dikatakan berlangsung selama 24 jam. Sepanjang waktu tersebut kehidupan para santri sepenuhnya diarahkan untuk mempelajari kitab suci al-Qur’an, mendalami ilmu pengetahuan, beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta memperkuat dasar-dasar moralitas keagamaan yang luhur yang populer disebut al-Akhlaq al-Karimah.

Tradisi dan pola hidup pesantren tersebut dalam realitasnya tidak hanya dianut oleh para santrinya semata, melainkan juga masyarakat di sekitarnya. Interaksi antara pesantren dan masyarakatnya yang berlangsung secara intensif pada gilirannya membentuk pola relasi budaya, sosial dan keagamaan di kalangan mereka. Posisi kiyai dalam komunitas pesantren dan masyarakat demikian besar dan sentral. Kiyai dipandang sebagai figure ideal di mata para santri dan komunitas sekitarnya. Di samping penguasaan dan kedalamanya atas keilmuwan Islam, Kiyai juga diyakini sebagai pewaris Nabi. Ini sesungguhnya menjadi sebuah kekuatan untuk kemajuan pembangunan dan transformasi sosial. Maka sering dikatakan orang bahwa kiyai adalah agen perubahan sosial. Pengaruh kekuasaan moral kiyai memang jarang dapat diketahui orang-orang yang tidak pernah menjadi santri. Geertz dengan mengutip penilaian Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat mengatakan : “…Orang yang tidak pernah menjadi siswa dalam suatu pesantren… nyaris tidak dapat menyadari betapa besar kekuasaan moral seorang ulama atas massa rakyat,”.[4]

Meski demikian, sentralitas kepada figure seperti itu sesungguhnya juga mengandung kelemahan bagi kelangsungan hidup pesantren sendiri. Begitu Kiyai meninggal dunia, tidak jarang pesantren kemudian mengalami kemunduran dan redup bahkan tidak sedikit yang kemudian “gulung tikar”.
Moral sebagai Visi dan Misi Pesantren

Definisi tentang pesantren di atas sebenarnya telah menggambarkan bahwa Pesantren sejak awal didirikan diniatkan dalam rangka mendidik, melatih dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada santrinya tentang moral dan spiritualitas. Beberapa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan (al-Ikhlash), kemandirian (al-I’timad ‘ala al-Nafs), kesederhanaan hidup (al-Iqtishad), asketis (al-Zuhd), menjaga diri (al-Wara’), dan lain-lain. Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pesantren sebagai berikut :

“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”.[5]

Maka, tak dapat disangkal bahwa orientasi ajaran seperti ini pada gilirannya sangat memengaruhi pandangan, pemikiran dan sikap hidup para santri. Aktifitas kehidupan sehari-hari mereka banyak diliputi praktik-praktik moralitas sufisme tersebut. Orientasi hidup semacam ini di satu sisi dapat membentuk karakter-karakter kesalehan individual, akan tetapi pada sisi lain, dimensi nalar-intelektual-rasional, seringkali kurang memperoleh tempat yang signifikan di pesantren, bahkan seringkali dihindari. Ini boleh jadi merupakan kelemahan pesantren, tetapi ia adalah sebuah pilihan dengan seluruh konsekuensinya.

Pada umumnya pesantren menyebut “Tafaqquh fi al-Din”, sebagai tujuan pesantren. Secara literal ia berarti “mendalami agama”. Pengertian tafaqquh di sini bukanlah hanya berarti mempelajari agama eksoterik, atau dalam arti hukum-hukum fiqh yang legal-formal, melainkan lebih jauh dari itu. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, sebuah kitab rujukan utama mengenai etika pendidikan, karya al-Zarnuji, bermazhab Hanafi disebut bahwa “fiqh bermakna “Ma’rifah al-Nafs Ma Laha wa Ma ‘alaiha” (Pengetahuan tentang tentang diri, apa yang baik dan yang buruk). Pernyataan ini memperlihatkan bahwa Tafaqquh fi al-Din mengandung makna esoteric, moral dan etika. Maka tidaklah mengherankan jika Kitab Kuning, sebagai sumber-sumber pengetahuan di pesantren banyak sekali berisi ajran-ajaran moral-sufistik. Beberapa di antaranya adalah Beberapa di antaranya adalah : Durrah al-Nashihin, Izhah al-Nasyi-in, Bidayah al-Hidayah, Risalah al-Mu’awanah, Irsyad al-‘Ibad,Nasha-ih al-‘Ibad, al-Mizan al-Kubra dan Ihya Ulum al-Din.

Sejumlah penelitian terhadap pesantren memang menemukan bahwa dalam kenyataannya bidang fiqh (hukum Islam), menjadi pelajaran dominan dan factor penting dalam membentuk tradisinya. Namun segera dikemukakan bahwa dalam kajian yang lebih mendalam ditemukan bahwa fiqh yang dipelajari di pesantren pada umumnya adalah fiqh yang diwarnai oleh pikiran-pikiran sufisme. Para peneliti menyebutnya “Fiqh Sufistik”.

0 komentar:

Posting Komentar