Senin, 06 Februari 2012

Tahajjud Cinta Seorang Hamba

Al-Habib , seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa
didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami sholat isya suatu jamaah yang
terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.
Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam,
Al-Habib langsung membalikan tubuhnya, menghadapkan wajahnya
kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.
“Salah seorang dari kalian keluarlah sejenak dari ruang ini, ”
katanya, “Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok.
Keluarkan sebagian dariuang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”
Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali
ke ruangan beberapa saat kemudian.
“Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, “Makanlah biji-biji
kacang itu, yang diciptakan oleh Alloh dengan
kemuliaan , yang dijual oleh kemuliaan dan dibeli
oleh kemuliaan.” Para jamaah tak begitu memahami
kata-kata Al-habib,sehingga sambil menguliti dan
memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.
“Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib,
“hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai
kemuliaan.Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat
proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan
kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan
menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila
diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh
kemuliaan.” “Tetapi ya Habib,” seorang bertanya,
“apa hubungan antara kita beli kacang malam ini
dengan kemuliaan?” Al-habib menjawab, “Penjual kacang itu
bekerja sampai larut malam atau bahkan sampai
menjelang pagi.Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota
dan kampung-kampung.Di malam hari pada umumnya orang
tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa
Alloh membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk
pun.Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian
yang sering tak yakin akan kemurahan Alloh, sehingga
cemas dan untuk menghilangkan kecemasan hidupnya
ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta
bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”
Suasana menjadi hening.Para jamaah menundukkan kepala
dalam-dalam.Dan Al-Habib meneruskan, “Istri dan anak
penjual kacang itu menunggu di rumah, meunggu dua
atau tiga ribu rupiah hasil kerja semalaman.Mereka ikhlas
dalam keadaan itu.Penjual kacang itu tidak mencuri
atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya.Kalau ia punya
situasi mental mencuri, tidaklah ia akan tahan
berjam-jam berjualan.”
“Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-Habib
bertanya, “Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu,
atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah
derajat penjual kacang itu dibanding kalian, atau di mata Alloh
ia lebih tinggi maqom-nya dari kalian? Kalau demikian,
kenapa dihati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa
seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang
kecil?”
Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, “Mahamulia Alloh yang
menciptakan kacang, sangat mulia si penjual kacang
itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian
yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan….”.
Salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al
-Habib erat-erat.

0 komentar:

Posting Komentar