Minggu, 05 Februari 2012

Akhlaq atau Tasawuf bermakna Nilai-nilai Kemanusiaan

Dalam kamus besar bahasa indonesia kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan.[6] Akan tetapi sebenarnya ia berasal dari bahasa Arab (al-akhlaq), dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat.[7] Akhlak sebenarnya adalah kata plural. Sementara kata “mufrad” atau singularnya adalah“khuluq”. Kata ini memiliki akar kata “khalq” yang berarti ciptaan. Yakni sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Karena itu ia melekat dalam setiap diri manusia, dari manapun ia berasal, apapun warna kulit, jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama dan sebagainya.

Imam Al-Ghazali (450 H-1111 M) menyebut sejumlah definisi akhlaq. Salah satu di antaranya adalah “sifat (hai-ah) yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan secara mudah (reflektif), tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika sifat tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan yang indah (al-jamilah) dan terpuji (al-mahmudah) menurut agama dan akal, maka ia dinamakan akhlak yang baik (khuluqan hasanan), dan apabila menghasilkan perbuatan-perbuatan yang buruk (qabihah), maka ia dinamakan akhlak yang buruk (khuluqan sayyi-an)”. “. Makna ini menunjukkan bahwa akhlak merupakan sifat dan gambaran jiwa (hai-ah al-nafs wa shuratuha al-bathinah). [8]
Makna ini sesungguhnya sama dengan arti etika dan moral. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988) dipaparkan makna kata etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, dalam tiga pengertian, yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Haryatmoko menyimpulkan bahwa etika (yang disamakan maknanya dengan moral) merupakan wacana normative dan imperative yang diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden.[9]
Meski akhlak bisa berarti perilaku atau sikap yang baik dan buruk atau positif dan negatif, akan tetapi dalam banyak perbincangan masyarakat sehari-hari kata “akhlak” hampir selalu memiliki konotasi baik dan positif, seperti kejujuran, ketulusan, kesabaran, rendah hati, kasih, keberanian, murah hati, santun, bertindak adil, menghargai orang lain dan sebagainya. Dalam teks-teks Islam, akhlak yang baik disebut al-Akhlaq al-Karimah.
Kecenderungan paling umum menganggap bahwa akhlaq yang diamalkan di pesantren lebih berdimensi sufistik. Dan dalam banyak perbincangan sosial, Tasawuf atau sufisme terlalu sering diberi makna ekslusif, tertutup, individual sehingga seakan-akan tidak memberi makna bagi kehidupan social dan peradaban manusia. Tasawuf dipandang sebagai suatu cara hidup asketis (zuhd), mengasingkan diri dan mementingkan diri sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, sufisme sering distigmatisasi sebagai penyebab kehancuran dan kebangkrutan peradaban Islam. Ini karena, menurut sebagian orang, ia mengajarkan anti rasionalisme dan anti filsafat. Sufisme juga menganjurkan kemiskinan dan membenci kemewahan kehidupan dunia. Pandangan atau kesan-kesan terhadap sufisme seperti ini biasanya muncul dalam masyarakat modern dan rasional
Pandangan-pandangan ini bagi saja tentu saja menyederhanakan masalah. Kehancuran masyarakat atau bangsa memiliki factor-faktor yang sangat kompleks. Dalam sejarahnya, sufisme justeru hadir untuk mengkritik atau bahkan mendekonstruksi perilaku-perilaku sosial yang menyimpang, korup dan mendehumanisasi manusia. Karena inti dari gagasan sufisme adalah “al-Takhalli” (membersihkan sifat-sifat, atau karakter-karakter hati/jiwa) dan “al-Tahalli”, (menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik dan terpuji). Kaum sufi sama sekali tidak melarang aktivitas-aktifitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Mereka hanya ingin mengingatkan bahwa seluruh aktifitas tesebut haruslah diarahkan bagi kepentingan atau kesejahteraan sosial, dan dikelola dengan cara-cara yang benar dan bermoral. Ajaran “zuhd” sering diartikan menjauhi dunia atau bahkan membencinya. Bagi saya pamaknaan zuhd seperti ini sangat simplistic. Dalam sufisme makna “dunia” dalam konteks ini adalah “sifat-sifat kemanusiaan yang rendah (dana-ah/buruk) dan pragmatis, untuk hari ini di sini (dana/al-dani).

Dalam tingkat yang lebih tinggi, sufisme akan menekankan pada kesatuan eksistensi, penyatuan manusia atas dasar cinta. Gagasan ini sepenuhnya ide-ide kemanusiaan universal. Ini yang kerap disebut sebagai tasawuf falsafi. Akan tetapi harus diakui bahwa tasawuf ini sudah tidak banyak dikembangkan di pesantren. Tasawuf di Pesantren pada umumnya berakhir pada “tasawuf ‘amali” belaka.

Gagasan tasawuf falsafi bersumber dari prinsip fundamental Islam, yaitu Tauhid. Artinya “tidak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”. Ia acapkali disebut sebagai “kalimah al-ikhlas”. Kalimat ini tidaklah semata-mata pernyataan verbal belaka, melainkan memiliki implikasi-implikasi sosial-kemanusiaan. Pernyataan ini mengandung makna kebebasan, kesetaraan, dan penghargaan atas martabat manusia. Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip ini adalah bahwa semua manusia di manapun adalah bersaudara. Sufisme menegaskan bahwa tidak ada persaudaraan kecuali persaudaraan yang menghimpun seluruh prinsip kemanusiaan. Manusia menyatu dengan yang lain; pertama-tama, dalam hubungan keluarga, kemudian hubungan umat dan akhirnya hubungan kemanusiaan. Hubungan yang terakhir ini melampaui batas-batas geografis. Manusia juga menyatu dalam kemanusiaannya pada masa lampau, kini dan mendatang. Banyak jalan menuju Allah. Tetapi hanya ada satu Jalan yang lurus. Yaitu melepaskan Ananiyyah (individualisme).[10]

Jika kita harus menyimpulkan, maka akhlak, etika atau moral yang dianut Pesantren mengandung nilai-nilai yang sepenuhnya bermakna kemanusiaan, baik dalam bentuknya yang dikesankan sebagai personal atau individual, seperti ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, dan rendah hati maupun dalam relasinya dengan individu atau komunitas yang lain, seperti penghargaan terhadap perbedaan berpikir, kebebasan mengekspresikan pendapat dan keyakinan, penghormatan terhadap eksistensi “liyan” (the others) dan persaudaraan universal.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berdimensi publik-politik di atas, nilai-nilai kemanusiaan itu mendapatkan formulasinya dari salah satu tokoh besar anutan masyarakat pesantren; Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M). Dalam kitabnya yang terkenal “Al-Mustashfa min Ilm al Ushul”, al-Ghazali menyebut lima prinsip perlindungan yang harus menjadi basis dalam setiap relasi antar manusia. Lima prinsip itu adalah “Hifzh al-Din (perlindungan terhadap hak beragama dan berkeyakinan, Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifz al-‘Aql (hak berpikir dan berekspresi), Hifzh al-Nasl (hak kehormatan diri dan berketurunan, dan Hifz al-Mal (hak atas kepemilikan/proferti). Lima nilai ini menurut Imam al-Ghazali merupakan cita-cita agama (Maqashid al-Syari’ah).
Pesantren dan Eksistens Negara Bangsa
Dengan pandangan hidup kiyai dan nilai-nilai yang dianut pesantren sebagaimana sudah diurai serba singkat di atas, maka pesantren dalam momen-moment sejarah berbangsa dan bernegara, selalu tampil untuk ikut memberi sumbangannya bagi eksistensi Negara dan bangsa. Pada periode pra colonial (kerajaan), pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam tanpa kekerasan dan pemaksaan. Ini adalah era paling mengesankan dalam proses Islamisasi di Indonesia. Di era penjajahan kolonial, pesantren menjadi salah satu pusat heroisme pergerakan perlawanan rakyat. Para Kiyai dan Pesantren dalam banyak peristiwa memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dari tirani penjajahan. Di era kemerdekaan, pesantren di bawah kepemimpnan Kiyainya, juga terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang panjang dan melelahkan, bersama tokoh-tokoh yang lain, dalam perumusan bentuk dan ideologi Negara Bangsa (Nasionalisme). Kiyai pesantren yang terlibat dalam persetujuan atas Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi Negara Indonesia adalah K.H. A. Wahid Hasyim. Kiyai Wahid Hasyim juga menyetujui penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Jauh sebelum kemerdekaan Negara ini, para Kiyai Pesantren telah memandang bahwa Negara bangsa adalah sah dan eksistensinya wajib dipertahankan atas dasar agama. Dalam muktamar yang dihadiri ribuan Ulama/Kiyai pesantren itu diajukan sebuah pertanyaan :”wajibkah kaum muslimin mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda, yang dipimpin oleh orang non muslim?. Jawaban mereka adalah bahwa mempertahankan Negara adalah wajib berdasarkan aturan agama. Ini didasarkan argument bahwa Kerajaan Hindia-Belanda memberikan jaminan kebebasan bagi kaum muslimin untuk menjalankan ajaran Islam dan bahwa kawasan ini (Nusantara) pernah berdiri Kerajaan-kerajaan Islam. Para Kiyai merujuk pandangan ini pada kitab “Bughayah al-Mustarsyidin”.

Pada era Orde Baru, dalam muktamar NU ke 27 di Situbondo, tahun 1984, para Kiyai pesantren, mengukuhkan keputusan Alim Ulama tahun 1983 yang memjutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk Negara final dalam Islam.

K.H. Ahmad Siddiq, konseptor utama keputusan Muktamar 1984 ini, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar di atas mengatakan bahwa “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. K.H. Ahmad Siddiq pada akhirnya menyimpulkan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para Kiyai/ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.[11] (Muktamar Situbondo, 1984).
Demikianlah. Dari uraian singkat di atas, tampak jelas, bahwa Pesantren sepanjang sejarahnya, terlepas kekurangan dan kelemahanannya, telah memberikan sumbangan yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat bangsa, bukan hanya dalam kerangka pembentukan karakter positif bagi individu-individu anak bangsa, melainkan juga bagi utuhnya sistem Negara Bangsa dengan seluruh pilar-pilarnya. Agaknya model pendidikan pesantren seperti ini, menarik sekaligus relevan untuk dijadikan bahan pemikiran dan inspirasi untuk kondisi Indonesia yang tengah dilanda krisis moral yang akut ini.

0 komentar:

Posting Komentar