Rabu, 01 Februari 2012

CUBITLAH DAKU-KAU KUCAKAR GIGITLAH DAKU-KAU KUTELAN

Almarhum Gus Dur pernah mengatakan bahwa beliau sangat menghormati Megawati karena ia adalah Putri Bung Karno. Bung Karno adalah keturunan Raden Patah sedangkan Gus Dur adalah keturunan Raden Kusen adik kandung (seibu lain ayah) dari Raden Patah. Kata almarhum: "Dari segi keturunan saya dari pihak yang muda, jadi saya menghormati keturunan Bung Karno". Padahal baik Raden Patah (Sultan Demak pertama) dan Rade Kusen (Adipati Terung dari Majapahit) keduanya hidup sekitar tahun 1500-an. Bila benar, alangkah berkesan dan mulianya! Tetapi yang lebih banyak terlihat dalam sejarah adalah sebaliknya yaitu lingkaran balas dendam yang tak pernah putus. Dari tahun-ketahun dari generasi kegenerasi dari abad keabad mausia terbelenggu oleh rantai balas dendam. Kalau kamu mecubit akan saya cakar. Seharusnya sudah; selesai. Tetapi kamu malah mengigit. Maka kutelan kau sebagai pembalasan. Begitu seterusnya sampai tidak ketahuan lagi siapa yang memulai.

Menurut Kevin Carlsmith, seorang social psychologist, alasan balas dendam adalah untuk mencapai pelampiasan emosi (catharsis). Tetapi penelitian lebih lanjut membukitkan balas dendam ternyata kontra produktif untuk mencapai tujuan pelampiasan emosi. Seorang pembalas dendam pikirannya akan melekat terus pada sasarannya sehingga luka hatinya tetap menganga dan akan semakin makin parah bila balas dendamnya tidak atau belum terlaksana. Menurut Simon Critchley filosofer Inggris lahiran 1960, roda kekerasan dibalas kekerasan akan menggelinding terus tanpa henti dan tak terelakkan akan membawa kerusakan. Peribahasa China mengatakan, sebelum berangkat membalas dendam galilah dua liang lahat. Pembalas dendam umumnya menyebut tindakannya sebagai membela diri, melindungi hak atau menegakkan keadilan. Hanya Tuhanlah yang mengatahui segala rahasia yang tersembunyi yang mampu menghakimi dengan benar dan adil.

Serangan 11 Sept. 2001 misalnya, dibenarkan oleh Usamah Bin Ladin segagai pembalasan yang setimpal atas penggunaan tanah airnya (Saudi Arabia - dimana dua tempat suci Islam berada) sebagai pangkalan untuk menyerbu Iraq pada Perang Teluk Pertama tahun 1990-91. Serangan 11 September justru dijadikan sebagai justifikasi oleh Amerika untuk menyerbu Afganistan dan kemudian Iraq. Dan pembalasan demi pembalasan silih berganti sampai sekarang. Pembalasan dendam nyata-nyata merupakan pangkal kehancuran. Mengikut peribahasa China diatas Amerika (dan juga Bin Ladin) sewajarnya masing-masing menggali dua liang lahat sebelum berangkat membalas dendam. Kata Simon Critchley dalam tulisannya The Cycle of Revenge, kuburan Bin Ladin didasar laut sudah terisi tetapi masih ada satu liang lahat yang menganga. Melihat apa yang terjadi sampai saat ini nampaknya itu adalah kuburan untuk Amerika. Bin Ladin hanya menghabiskan 500 ribu dolar untuk serangan 11 Septembernya semantara Amerika paling sedikit telah menghabiskan 500 milyar dolar untuk pembalasan dendamnya. Lihat angka tepatnya disini! Belum lagi nyawa tentara yang hilang. Sehingga satu dolar yang dikeluarkan Bin Ladin terpaksa ditebus dengan sejuta dolar oleh Amerika. Kerawanan keuangan Amerika saat ini setidaknya sebagian adalah dampak dari tonjokan Bin Ladin. Pemerintah Federal, Negara Bagian, Pemerintah Kota bahkan individu semua sarat dengan hutang. Amerika hampir bangkrut dibuatnya.

Kehancuran dan kerusakan akan jauh berkurang seandainya belenggu rantai balas dendam dapat diputuskan. Tetapi itu mustahil karena sifat manusia selalu cenderung untuk merugi dan jahat. Bayangkan bila kita mengikuti petunjuk agama kita. Surat Asy Syuro ayat 40 mengatakan: “Balasan perbuatan jahat adalah kejahatn yang seimbang dengannya, barang siapa yang memaafkan dan berlaku damai, pahalanya ada ditangan Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." Dan bayangkan seandainya pihak sono juga mengikuti petunjuk agama mereka. Dalam Kitab Perjanjian Baru disebutkan bahwa memaafkan itu tidak cukup tujuh kali tetapi tujuh puluh kali tujuh kali.... Bila ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan! Tentu jalannya sejarah menjadi lain. Wallohu a'lam

0 komentar:

Posting Komentar