Rabu, 01 Februari 2012

KETIKA “SANG ZAHID” DI RUMAHNYA

Lantunan al-Qur’an di Pagi Hari

Sampai detik ini, sudah lima belas tahun, atau tepatnya sejak tahun 1997, saya mondar-mandir, datang dan pergi ke rumah Gus Dur, di Ciganjur. Ketika rumah di Ciganjur direnovasi dan pindah sementara di Jalan Paso, saya juga datang dan pulang. Kedatangan saya ke rumah Gus Dur, tak pasti. Kadang sebulan sekali, kadang dua bulan dan kadang tak bisa dihitung dengan hari. Semua tergantung kesepakatan sebelumnya. Di rumah itu saya pada awalnya datang untuk mengaji kitab kuning: “Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zawjain”, karya ulama besar Indonesia: Kiyai Nawawi al-Bantani, bersama teman-teman, di pimpin Ibu Shinta Nuriah. Tetapi dengan berjalannya waktu ada ruang terbuka bagi saya untuk bercanda-canda, tertawa riang dan tergelak-gelak, berdebat panjang, mendengar dongeng-dongeng, anekdot-anekdot, cerita-dan cerita epos, dengan keluarga Gus Dur, Ibu Shinta (isterinya), putri-putrinya (Lisa, Yeni, Anita dan Inay), sahabat-sahabat dan orang-orang yang ada di rumah itu. Ketika belum ada kamar tamu, saya tidur di dalam rumah di kamar lantai 1 atau di kantor, untuk satu atau dua malam, lalu pulang lagi ke Cirebon. Semuanya adalah hari-hari yang menyenangkan dan selalu merindukan. Tetapi memang saya jarang bertemu Gus Dur, apalagi terlibat dalam “ngobrol” panjang, kecuali hanya beberapa kali saja. Bukan apa-apa, tetapi karena beliau memang jarang tinggal lama-lama di rumah, meski selalu pulang untuk istirahat dua atau tiga jam, paling lama empat jam. Gus Dur sering datang dini hari, tanpa jam yang pasti. Manakala orang-orang di rumah sudah mimpi indah, beliau datang. Kadang jam 24.00, jam 01 atau jam 02.00, tetapi beliau selalu bangun jam 04.00, sebelum subuh. Saya tak tahu pasti apa yang dilakukannya setelah bangun. Setiap saya keluar kamar dan turun, Gus Dur sudah tidak ada lagi di rumah itu. Entah ke mana. Yang saya temukan adalah lantunan suara-suara merdu Syeik al-Hushari, Syeikh Sudaisi atau Syekh Abdul Basit Abdussahamad. Mereka adalah para Qari (pelantun al-Qur’an) terkemuka dunia dengan suaranya yang amat merdu dan indah. Suara-suara bacaan al-Qur’an itu dibiarkan melantun-lantun memenuhi dan menghiasi setiap ruang di dalam rumah itu sampai cahaya matahari pagi yang hangat menembus jendela kamar. Begitu indah, sejuk, ramah dan menciptakan kedamaian di hati. “Gus Dur sendiri yang meminta kaset al-Qur’an itu diputar saban pagi, usai shalat Subuh”, kata ibu Shinta. Gus Dur memang amat senang mendengar al-Qur’an di bacakan dengan suara yang indah. Bila ada ayat yang mengesankan hatinya ketika itu, ia kemudian acap menyampaikannya kepada orang lain, dengan memberi tafsir atasnya menurut pikirannya sendiri. Kesenangan kepada al-Qur'an Bukan hanya melalui kaset yang diputar setiap pagi, tetapi juga mengundang para penghafal al-Qur’an. Hampir setiap bulan beliau mengundang mahasiwa-mahasiswi dari Perguruan Tinggi Ilmu alQur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) untuk “sema’an”. “Sema’an”, diambil kata Arab “Sima’”, yang secara literal berarti mendengarkan. Tetapi entah sejak kapan kata itu telah menjadi istilah bagi suatu ritual membaca al-Qur’an oleh para penghafal al-Qur’an (hafiz/hafizhah) di hadapan orang lain yang mendengarkannya sambil membuka Mushaf dan mengamati huruf-huruf suci itu yang sedang diperdengarkan para qari tersebut. Perguruan Tinggi al-Qur’an yang disebut pertama adalah almamater saya, sejak 1973 sampai 1980.

Tidur di atas lantai sambil mendekap bantal

Sering, ketika tamu sudah pulang, malam telah sepi dan bulan di langit tertatih-tatih berjalan ke barat untuk beberapa jam kemudian tenggelam, Gus Dur tak langsung masuk kamar untuk istirahat, tidur. Beliau lebih suka tidur di ruang depan, di ruang tamu atau di ruang terbuka di mana saja yang dirasa nyaman. Jika pun sudah di dalam kamar ia acap keluar kamar sendirian, sambil meraba-raba tembok lalu mencari kursi. Ia duduk-duduk atau mengambil tempat dilantai dan merebahkan tubuhnya begitu saja atau melingkar sambil memeluk bantal. Ia tak pernah memilih tempat. Kebiasaan ini tidak hanya ketika ia di rumahnya. Pada saat ia singgah dan menginap di rumah Kiyai Fuad Hasyim (alm), Buntet Pesantren, Cirebon, ia juga melakukan kebiasaan itu. “Gus Dur sering mampir ke sini untuk sekedar cari teman ngobrol ngalor ngidul, kadang sampai dini hari yang dingin, sambil lesehan, leyeh-leyeh. Jika sudah ngantuk beliau langsung merebahkan tubuhnya di lantai, begitu saja, kadang tak pakai baju”. Ini cerita Kiyai Fuad kepada saya suatu hari di rumahnya. Bagi Gus Dur, tempat di mana-mana sama saja, sebab tubuh sangat tergantung pada jiwa. Tubuh mengikuti jiwa, bukan sebaliknya. Kadang “kenikmatan tubuh sering melalaikan Tuhan”, kata para sufi. Para sufi besar selalu memilih dan mengutamakan ruh, bukan tubuh.

Gus Dur pastilah sudah membaca sejarah hidup Nabi atau pernah mendengar cerita ayahnya. Ibnu Mas’ud, sering melihat Nabi tidur di rumahnya. Sahabat Nabi ini bercerita:

نَامَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى حَصِيْرٍ فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا يَا رَسُولَ الله لَوْ اتَّخَذْنَا لَك وَطَاءً. فَقَالَ: "مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ، اِسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا"

“Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku bilang: “Nabi, boleh kami ambilkan kasur untukmu?”. Nabi mengatakan : “Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini aku hanyalah bagai penunggang unta yang bernaung sementara di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu”. (hadits sahih).
Dengan begitu Gus Dur juga seakan-akan tak lagi memikirkan dirinya sendiri. Ia tak memikirkan tubuhnya harus diletakkan di mana. Jiwanya seakan-akan selalu bergelora, resah, berdesir sarat rindu. Apakah yang ada dan pikiran dan jiwanya?. Saya mengira-ngira saja. Karena siapa sih yang mengerti isi pikiran dan hati manusia, selain Tuhan?. Ya, saya hanya mengira-ngira: bahwa yang ada dalam pikiran, jiwanya dan relung hatinya adalah manusia. Manusialah yang selalu menjadi pikirannya, terutama mereka yang hatinya luka, terkoyak dan hancur. “Jika kalian mencari aku, carilah ditempat kumpulan orang-orang yang hatinya luka”, kata Nabi kepada para sahabatnya, suatu saat.

Tak Memikirkan Pakaian

Sering saya melihat, Gus Dur, di rumahnya, hanya mengenakan kaos dan celana sebatas bawah lutut, dari bahan yang tak tampak berkualitas. Ketika ia masih sakit, tahun 1997, aku dipanggilnya masuk kamarnya. Sastro Ng, mungkin mengabarinya ada saya di kamar atas di rumahnya. Di kamar itu ia mengenakan pakaian seperti itu: celana dan kaos seperti tadi. Seperti pakaian yang dikenakannya ketika ia berdiri di depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan kepada ratusan umatnya yang menunggunya menjelang ia dilengserkan dengan paksa dan inkonstitusional dari kursi kepresidenan. Tak ada bedanya, ketika ia di Istana maupun di rumahnya. Gus Dur memang tak memikirkan atau tak lagi terpikirkan soal bahan apa dan warna apa yang patut dipakai. Ia juga tak peduli bikinan siapa untuk pakaiannya, bikinan dalam negeri atau luar negeri, buatan orang Islam atau orang kafir, dan sedang menjadi Presiden atau menjadi orang biasa. Ia menerima saja apa yang diberikan kepadanya. Tetapi tentu saja, ibu, anak-anaknya atau saudara-saudaranya memperhatikan soal pakaian itu. Merekalah yang memilihkan pakaian untuk suami/ayahnya/kakaknya, pakaian apa yang pantas baginya di suatu tempat dan untuk suami momen. Sungguh, sepanjang saya di rumah Gus Dur, saya tak pernah melihatnya memakai kain sarung, seperti kiyai pada umumnya, padahal ia adalah kiyai besar, kecuali di foto yang tersimpan di album foto keluarganya atau di tempat lain, saya tak ingat. Padahal saya dulu, ketika masih mondok di pesantren, menganggap sarung adalah pakaian Islam. Tak sah rasanya jika shalat atau menghadiri akad nikah, tidak pakai sarung. Jika saya masuk masjid untuk shalat dengan tidak pakai sarung dan berjemaah bersama orang lain yang memakainya, maka saya dianggap tidak pantas menjadi Imam shalat. Tidak afdol, katanya. Bila saya menghadiri akad nikah orang di kampung tak memakai kain sarung, si wali nikah tak meminta saya mewakili menikahkan anaknya atau menyampaikan khutbah nikah. Beda jika saya memakainya. Gus Dur, tentu juga paling paham soal budaya ini.

Kiyai A.Wahid Maryanto, atau yang akrab dipanggil Kiyai Acung, santri Gus Dur ketika di Pesantren Tebuireng, suatu saat bercerita kepada saya bahwa Gus Dur sering tak betah sendirian di rumah, baik ketika malam maupun ketika siang. Ia sering mencari-cari teman untuk sekedar menjadi tempat menyalurkan hasrat-hasratnya; bicara ngalor ngidul tentang politik, partai, negara, dunia, bangsa, tentang NU dan umat, atau bercerita yang ringan-ringan dan tak ketinggalan joke-joke menyegarkan dan membuat perut jadi sakit, sambil memijat-mijat kaki dan tubuhnya yang kelelahan. Kiyai Acung bilang, dirinya sendiri, terutama pada malam hari, jika ada di sana, sering dipanggil “bapak” untuk keperluan yang sama. Bila “bapak” telah tidur, dia pamit. “Meski tidur sampai mendengkur, “bapak” tahu kalau aku meninggalkannya, pulang ke kamar tamu di depan”, katanya. “Kamu pulang Cung”, kata Gus Dur kepada Kiyai Acung. “Bapak” adalah panggilannya kepada Gus Dur.

Jika Gus Dur tak bisa tidur nyenyak dan tubuhnya terlihat bagai orang yang sedang resah di tempat tidur, saya amat paham. Bagi tubuh yang menyimpan magma spiritual yang bergolak, kesendirian kadang amat menyiksa. Magma itu selalu ingin ditumpahkannya lalu mengaliri siapa saja yang ditemuinya. Dan Gus Dur selalu ingin menemui orang di mana saja untuk bicara apa saja atau sekedar untuk bercanda atau menumpahkan humor-humor segar-cerdas yang baru saja melintas dalam pikirannya. Ibu Shinta bercerita kepada saya, “Sering pada malam-malam yang telah sepi, ketika tak ada lagi orang yang jaga, Gus Dur, tiba-tiba meminta, setengah memaksa, untuk pergi ke suatu tempat yang jauh, di Jawa Timur. Ketika disampaikan “mas, ini sudah malam, sudah larut, sudah jam 02 dini hari, dan tak ada pesawat, beliau baru berhenti meminta, meski tampak beliau sangat kecewa”. Ibu sebenarnya paham bahwa Gus Dur, malam itu, pasti sedang mengingat dan memikirkan orang-orang di Jawa Timur yang ingin sekali bertemu beliau. Ibu diceritai soal itu siangnya. Dan Gus Dur tak ingin mengecewakan mereka. Ia ingin memberikan kegembiraan atau menghibur hati mereka yang tengah luka.

Makan Malam Keluarga yang penuh tawa
Saya sering makan di rumah itu, pagi, siang atau malam, baik usai mengaji atau tidak. Apabila sarapan pagi atau makan siang, ibu Shinta hanya menemani saya dan teman yang ikut ngaji bersama saya di rumah itu. Ibu tak pernah ikut makan bersama, karena beliau puasa tiap hari dan itu dilakoninya selama bertahun-tahun, sejak masih mondok di Jombang dan berkenalan dengan suaminya itu. Lauk-pauknya tak ada yang istimewa. Begitu sederhana; tempe, tahu, sambal, lalap, sayur bening atau lodeh, atau rawon atau soto Lamongan, rujak cingur, pecel,telor, daging kering dan kerupuk. Cuci mulutnya pisang, jeruk, es cendol, atau es campur. Begitulah isi meja makan di rumah itu, begitu bersahaja, tak ada kemewahan, tak ada yang istimewa, dan tak ada yang berlebih-lebihan. Bukan hanya di rumah ini menu seperti itu, tetapi juga ketika di istana, selama dua tahun. Saya sama sekali tak bisa membandingkan dengan menu makanan para pembesar yang lain di rumah mereka, di Menteng atau di Cikeas, karena tak pernah makan di sana, karena orang kecil, konon, dilarang masuk.

Ada satu malam yang tak akan pernah saya lupakan. Itu adalah ketika saya, usai mengaji dari siang sampai sore, diajak makan malam bersama Gus Dur dan keluarganya di rumah itu. Saya amat senang karena beliau ada di rumah dan berkumpul bersama keluarganya. Saya amat jarang menyaksikan pemandangan seperti ini, seperti malam itu. Di meja makan itu saya adalah satu-satunya “orang asing” di keluarga itu. Di samping Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriah adalah empat orang anaknya. Menu makanan yang dihidangkan tetap saja tak terlalu istimewa, seperti yang sudah disebut di atas. Saya duduk berhadapan dengan Gus Dur. Saya melihat dengan amat jelas, beliau tak menampik/menolak lauk apa yang diberikan kepadanya. Beliau menerima saja, mengunyahnya dan menikmatinya. Sepertinya tak ada makanan yang tak disukainya. Manakala nasi habis dan ditambahi anaknya, beliau diam saja dan melahapnya. Usai makan yang “penuh berkah” itu, dengan tetap berada di depan meja, Gus Dur mulai melemparkan cerita-cerita unik dan humor-humor baru yang membuat semuanya tergelak-gelak. Lemparan humor Gus Dur disambut dengan humor-humor dari yang lainnya, kecuali saya, dengan humor-humor yang tak kalah lucu dan sanggup meledakkan tawa yang tak habis-habis. Dan perut saya tiba-tiba tak lagi penuh, karena terguncang-guncang yang tak pernah mau berhenti. Saya sendiri tak punya bahan apa-apa untuk bisa membuat orang bergembira, terbahak-bahak atau terkekeh-kekeh, seperti mereka. Sayang sekali, saya bukan orang yang bisa menyimpan cerita atau lelucon itu dalam otak saya, hingga semuanya jadi lupa, tak bisa diingat lagi.

Mengaji Kitab Sastra dan Tasawuf

Jika Gus Dur tak pergi ke mana-mana, ia atau memang ada jadwal mengaji kitab kuning di masjidnya, beliau mengaji atau memberikan kuliah kepada para santrinya, sambil duduk di kursi yang sudah disediakan. Sementara para santrinya duduk bersila dalam posisi melingkar membentuk arena. Gus Dur biasanya menentukan hari Sabtu untuk mengaji kitab kuning itu. Banyak kitab yang sudah dibaca Gus Dur, di hadapan para santrinya, terutama kitab-kitab bahasa dan sastra klasik, kitab-kitab Tasawuf (mistisisme) dan Ushul al-Fiqh (teori fiqh) atau al-Qawa’id al Fiqhiyyah (kaedah fiqh). Menurut Kiyai AW. Maryanto, yang biasa mendampingi atau membacakan kitab, Gus Dur pernah membacakan kitab “Qathr al-Nada”, sebuah kitab tata bahasa Arab karya Ibnu Hisyam. Lalu kitab Al-Mu’allaqat al-Sab’, kumpulan puisi Imri al-Qais, raja penyair Arab pra Islam. Secara literal “Al-Mu’allaqat al-Sab’” adalah tujuh puisi yang digantung di dinding ka’bah. Bila sebuah puisi sudah digantung di situ, maka ia adalah yang terseleksi dari sekian banyak puisi. Seleksinya dilakukan di hadapan public di arena sastra di Ukaz. Gus Dur juga membaca Diwan Al-Buhturi, Maqamat al-Hariri dan Diwan al-Mutanabbi. Lalu ia juga menyebut kitab Nuzhah Alibba fi Thabaqat al-Udaba (Taman Para Cendikia; Biofrafi Para Sastrawan), karya Abu al-Barakat al-Anbari. Buku yang terakhir ini, menurut cerita Gus Dur, masih tersimpan di lemari kakeknya; Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Ia membacanya ketika masih sangat muda. Semuanya adalah kitab sastra Arab klasik yang bermutu tinggi dan menjadi acuan penulisan sastra Arab-Islam sesudahnya. Kitab lain yang dibaca adalah Al-Asybah wa al-Nazhair, sebuah kitab tentang kaedah-kaedah hukum (fiqh), karya Imam Abd al-Rahman al-Suyuthi, seorang ensiklopedis (mausu’i), penulis ratusan kitab kuning dalam berbagai disiplin. Caranya mengaji kitab-kitab itu tidak sebagaimana di pesantren. Gus Dur tidak membaca seluruh isinya. Ia hanya membaca awalnya dan beberapa kalimat saja yang dibacakan oleh salah seorang santri, lalu menjelaskan kandungannya. Di tengah-tengah mengaji kitab-kitab tersebut beliau juga menyinggung tentang kitab lainnya dan bercerita panjang lebar. Gus Dur juga membaca kitab-kitab Tasawwuf. Pada bulan puasa Gus Dur membaca kitab Al-Hikam (Mutiara-mutiara Kebijaksanaan) karya sufi besar Ibnu Athaillah al-Sakandari. Ia menyinggung dan memperkenalkan antara lain kitab Al-Insan al-Kamil (Manusia Paripurna), buku Tasawuf yang amat terkenal, karya sufi besar Abd al-Karim al-Jilli. Tetapi dari banyak sekali kitab klasik tasawuf tersebut, Gus Dur tampaknya sangat terkesan pada kitab al-Hikam al-‘Athaiyyah tadi. Kitab ini sangat dikenal luas di kalangan ulama Pesantren dan selalu diajarkan di sana sampai hari ini. Kitab al-Hikam, adalah referensi utama sufisme sunni, selain Qut al-Qulub (Energi hati), karya Abu Thalib al-Makki, al-Risalah (risalah), karya al-Qusyairi, dan tentu saja Ihya Ulum al-Din (menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), karya puncak Imam al-Ghazali. Gus Dur tampak amat menyenangi kitab Hikam, mungkin karena karya ini ditulis dalam bentuk sastra puisi yang sangat indah dengan isinya yang penuh mutiara kebijaksanaan. Salah satu puisi Ibnu Athaillah yang sering disampaikan Gus Dur adalah syair “Idfin”, ini :

إِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى أَرْضِ الْخُمُوْلِ
فَمَا نَبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ

Sembunyikan wujudmu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah sempurna

Soal puisi (syair) di atas, Prof. Dr. Zaki Mubarak, sarjana Tasawuf terkemuka dari Mesir, mengatakan : “Syair Idfin itu amat memukau. Ia begitu indah. Aku tak pernah menemukan yang sepertinya di tempat lain. Di dalamnya tersimpan gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya, menemukan maknanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman”.(Al-Tashawwuf al-Islami fi al-Adab wa al-Akhlaq, hlm. 108). Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri dan politik pencitraan. Arti puisi itu kira-kira begini : “Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”. Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain. Hasrat ini mungkin sekarang popular disebut “politik pencitraan”. Saya pernah membaca buku karya Yasraf Amir Piliang, Posrealitas. Ia bilang: “Citra merupakan bentuk manipulasi realitas untuk kepentingan tertentu, dan pada titik yang ekstrim, tercerabut sama sekali dari dunia realitas. Citra tak lagi merupakan cermin realitas, melainkan cermin dari kepentingan. Yang tercipta adalah fatamorgana social yang di dalamnya tanda-tanda (symbol-symbol) telah tercerabut dari kebenaran”. Dengan lugas Yasraf bilang : “Citra memangsa dunia realitas dan membunuh kebenaran”. Makna lain dari kata-kata bijak Ibnu Athaillah di atas adalah perlunya ketulusan dan keikhlasan. “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, kata pepatah Jawa.

Puisi lain dari sufi agung yang juga amat sering disampaikan Gus Dur adalah :

لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُه
وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ

Tak usah temani orang-orang
yang tak membangkitkan tingkah-lakumu
Dan yang kata-katanya
tak membimbingmu
kepada Tuhan

Gus Dur, sering menyampaikan di hadapan umatnya, bahwa syair inilah yang mengilhami para ulama /kiyai pesantren, pada 1926, untuk memberi nama organisasi mereka: “Nahdlatul Ulama”, yang berarti Kebangkitan Ulama. Kini ia menjadi organisasi keagamaan terbesar di dunia, dengan berjuta-juta pengikut setia yang hari demi hari terus bertambah. Ada tokoh NU yang menyebut, jumlah pengikut NU adalah semua warga Negara Indonesia, selain Muhammadiyah. Ukurannya mudah saja; sepanjang orang masih Tahlil pada hari kematian, maka dia orang NU. Ini mungkin saja sekedar berkelakar. Kakek Gus Dur adalah pimpinan tertinggi pertama dengan sebutan “Rois Akbar”. Predikat ini hanya disandang beliau. Gus Dur, sang cucu, kemudian melanjurkan, membesarkan dan membuat organisasi ini dikenal luas di dunia Barat maupun di dunia Timur. Gus Dur telah memimpin organisasi ini selama 15 tahun, dan di bawah kepemimpinannya NU kembali berwibawa dan disegani banyak orang, termasuk pemerintah. Banyak orang bilang NU telah menjadi Gus Dur. “Gus Dur adalah NU”. Mengenai kata-kata ini saya ingat ucapan Rumi sang penyair-sufi:
“Aku telah begitu banyak berdoa
Hingga aku telah berubah menjadi doa itu sendiri
Setiap orang yang melihat diriku
Meminta doa dariku

Dengan kata-kata bijak dari Ibu Athaillah di atas, Gus Dur juga telah membangkitkan pikiran para santri dan umatnya, sehingga mereka banyak yang kemudian menjadi cerdas, kritis dan bergairah.
Tak ada kekuatan apapun di bumi
Yang mampu menundukkan bangsa.
Jika saja mereka bangkit

Setiap mendengar Gus Dur membaca kalimat-kalimat puitis di atas, terutama syair “Idfin”, saya tak tahan untuk menangis sendiri. “Pesan-pesan itulah rupanya yang menuntun dan membimbing Gus Dur sepanjang hidupnya”. Beliau selalu menyimpan hasrat-hasrat kemasyhuran diri dan lebih banyak bekerja daripada bicara. Beliau bicara jika memang harus bicara. Meskipun gemar humor atau melucu tetapi humor-humornya selalu memberi makna yang berguna bagi orang. Humor-humornya bukan asal-asalan, tetapi menyimpan makna. Gus Dur selalu ingin dan memang sering menemui orang-orang yang direndahkan dan disisihkan hanya karena mereka miskin, papa tak penting dan tak berharga. Tetapi tidak bagi beliau. Merekalah yang telah memberi makna, menginspirasi, membangkitkan gairahnya dan Gus Dur ingin membangkitkan gairah mereka, membuat mereka bisa menatap hari depan dan menjalani hidupnya dengan optimis. Gus Dur tahu persis, kemiskinan menjadi sumber paling potensial menghancurkan moral orang, seperti kata Nabi : “Kada al-Faqr an Yakjuna Kufran”. Saya memaknai hadits ini “Kefakiran bisa mengantarkan orang pada sikap anti (mengingkari) kebenaran”, dan bukannya “kefakiran mendekatkan orang pada kekafiran/murtad”, meski mungkin saja. Gus Dur juga ingin mereka bangkit dan maju. Betapa banyak sudah anak-anak muda miskin diberinya bantuan, dan betapa banyak anak muda yang diberi kesempatan untuk maju dan menjadi pemimpin. Beliau gembira dan tak mengharap balas jasa. Gus Dur tak peduli, mereka mau berterima kasih atau tidak.

0 komentar:

Posting Komentar