PROGRAM UMROH DAN HAJI SETIAP TAHUNNYA

Program Haji dan Umroh Setiap Tahunnya

PROGRAM UMROH DAN HAJI SETIAP TAHUNNYA

Program Haji dan Umroh Setiap Tahunnya

Rabu, 29 Februari 2012

HATI YANG BAIK




Suatu hari pada musim haji, Abdullah bin Mubarak yang sedang
melaksanakan ibadah hAaji di tanah suci tertidur di Masjidil Haram. Dalam
tidurnya beliau bermimpi bertemu dengan seorang malaikat yang
memberitahunya bahwa ibadah haji umat Islam tahun itu diterima Allah
hanya karena kebaikan seorang tukang sepatu. Sehabis itu Mubarak
terbangun. Betapa penasarannya beliau dengan mimpi itu dan betapa
penasarannya beliau dengan tukang sepatu yang diceritakan malaikat dalam
mimpinya itu. Apa gerangan yang dilakukan tukang sepatu itu sehingga
menyebabkan ibadah haji seluruh umat Islam tahun itu diterima Allah?
Beliau lalu mencari tahu siapa gerangan tukang sepatu itu dan dimana
tempatnya. Hingga akhirnya beliau berhasil menemui tukang sepatu dan
meminta cerita apa amalan yang dilakukannya sehingga mengantarkan
diterimanya ibadah haji seluurh umat Islam tahun itu? Lalu tukang sepatu
itu pun menceritakan ihwalnya, bahwa dia bersama isterinya selama 30
tahun berencana untuk naik haji. Selama itu tiap hari, minggu dan bulan
dia menabung dan mengumpulkan uang untuk biaya naik haji dari jasa
membuat dan memperbaiki sepatu.

Tahun ini tabungan hajinya bersama isteri sudah cukup dan dia berencana
untuk naik haji. Namun apa yang terjadi?

Suatu hari isterinya mencium bau harum masakan dari tetangganya. Karena
penasaran dengan harum masakan itu isteri tukang sepatu itu memberanikan
diri menghampiri tetangga dengan maksud ingin meminta sedikit masakan
sekedar ignin mencicipinya .

"Wahai tetangga yang baik, hari ini saya mencium harumnya masakanmu,
bolehkah saya mencicipi barang sedikit?" pinta isteri tukang sepatu itu
kepada tetangganya.

"Tuan puteri yang baik, masakan ini tidak halal bagimu", jawab tetangga.

"Mengapa tidak halal?" tanya isteri tukang sepatu itu dengan penasaran.

"Daging yang kami masak adalah bangkai yang kami temukan di jalan. Kami
tidak tega melihat anak-anak kami kelaparan. Kami sudah banting tulang
mencari makanan yang lebih baik, tapi kami tidak menemukannya. Akhirnya
hanya bangkai ini yang kami temukan, lalu kami masak biar anak-anak dan
keluarga kami tidak semakin menderita"

Mendengar cerita itu, isteri tukang sepatu itu sepontan pulang dan
menceritakannya kepada suaminya. Si tukang sepatu tanpa banyak bicara
segera membuka tabungan haji yang dikumpulkannya selama 30 tahun dan
dibawanya ke rumah tetangga. "Wahai tetangga yang baik, ambillah semua
uang ini untuk keperluan makan kamu dan keluargamu, ini lah haji kami",
kata tukang sepatu itu.

Perbuatan mulia tukang sepatu itulah yang dijadikan Allah sebagai
penyebab diterimanya amalan ibadah haji seluruh jamaah haji tahun itu.

****

Kisah di atas, menceritakan betapa hati yang mulia dan baik selalu
mendapatkan tempat yang mulia di mata Allah. Hati yang baik mengantarkan
kepada pemiliknya kepada perbuatan yang baik dan terpuji. Hati yang baik
mendatangkan pahala dan karunia Allah tidak hanya untuk si pemiliknya,
namun juga untuk seluruh umat manusia. Benarlah kata Rasulullah
"Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah, kalau itu baik, maka
baiklah seluruh anggota tubuh".

Hati yang baik bukanlah sekedar karunia dari Allah yang diberikan kepada
orang-orang tertentu saja, namun hati yang baik juga bisa didapatkan
dengan latihan dan pendidikan. Salah satu cara untuk mendapatkan hati
yang baik adalah dengan senantiasa membuka komunikasi hati dan Allah.
Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, maka siapapun yang selalu
berkomunikasi kepdaNya akan mendapatkan pancaran kebaikan. Semoga kita
diberi karunia hati yang baik.
  1.  

SALAF DALAM BIRRUL WALIDAIN



Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair, karya adz-Dzahabi)

Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menjawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar, karya Ibnu Qutaibah)

Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.” (Diambil dari kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari)

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang di dapatkan anaknya. (Diambil dari Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu.” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’)

Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya. (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa ku berikan pasti ku berikan.” (Diambil dari Shifatush Shafwah)

Hafshah binti Sirin mengatakan, “Ibu dari Muhammad bin Sirin sangat suka celupan warna untuk kain. Jika Muhammad bin Sirin memberikan kain untuk ibunya, maka beliau belikan kain yang paling halus. Jika hari raya tiba, Muhammad bin Sirin mencelupkan pewarna kain untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila beliau berkata-kata dengan ibunya, maka beliau seperti seorang yang berbisik-bisik. (Diambil dari Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi).

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah beliau bertanya kepada para sahabat Muhammad bin Sirin, “Ada apa dengan Muhammad, apakah dia mengadukan suatu hal? Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, “Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi)

Humaid mengatakan, tatkala Ibu dari Iyas bin Muawiyah meninggal dunia, Iyas menangis, ada yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab, “Aku memiliki dua buah pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satu pintu tersebut sudah tertutup.” (Dari kitab Bir wasilah, karya Ibnul Jauzi)


Senin, 27 Februari 2012

SEGARNYA TELAGA HATI

Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya. Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya “, ujar pak tua.
“Pahit, pahit sekali,” jawab pemuda itu sambil meludah ke samping.
Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingandan akhirnya sampai ketepi telaga yg tenang itu. Sesampai disana, Paktua itu kembali menaburkan serbuk pahit ketelaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.”
Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya ?”
“Segar,” sahut si pemuda.
“Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?” tanya pak tua.
“Tidak,” sahut pemuda itu.
Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata: “Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan, lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak tua itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian.”

Aku Rasa Belum Beribadah


Aduh, bila aku menghadap-Mu Tuhan di waktu ibadah,
Hatiku pun mula rasa susah dan gelisah,
Aku pun mula bimbang bagaimana nanti aku menyembah-Mu, bersopankah atau sebaliknya,
Kalau aku lakukan juga, jawapannya tentu sama,
Macam-macam rasa di dalam jiwaku,
Takut, bimbang, gelisah dan resah,
Apabila selesai, aku rasa belum beribadah,
Hatiku susah dan gundah-gulana,
Tapi apakan daya, setakat itulah yang terdaya,
Takkan aku hendak mengulanginya sekali lagi,
Nilai ibadahku,
Macam tadi juga,
Kerana itulah Tuhan, setiap kali lepas sembahyang,
Aku dahulukan memohon ampun kepada-Mu terhadap sembahyangku, selepas itu baharulah dosa-dosaku,
Begitulah juga Tuhan selepasku membuat dosa,
Hatiku lagi parah, susah dan gelisah,
Tapi aku ini lemah bermujahadah,
Selepas itu aku ulangi lagi membuat salah,
Hatiku susah lagi dan gundah
Tuhan! Engkau tampunglah ibadahku mana yang kurang,
Maafkan aku yang tidak sempurna,
Ampunkan aku mana yang terlanjur,
Kerana hal itu bukan aku suka,
Itulah kelemahanku,
Engkau pun tahu,
Rahmat-Mulah yang aku pinta

Minggu, 26 Februari 2012

TERUNTUK IBUNDA DI SELURUH DUNIA


ntuk Ibunda Di Seluruh Dunia

Pada suatu hari, ketika Hasan al-Bashri thawaf di Ka’bah, Makkah, beliau bertemu dengan seorang pemuda yang memanggul keranjang di punggungnya. Beliau bertanya padanya apa isi keranjangnya. “Aku menggendong ibuku di dalamnya,” jawab pemuda itu. “Kami orang miskin. Selama bertahun-tahun, ibuku ingin beribadah haji ke Ka’bah, tetapi kami tak dapat membayar ongkos perjalanannya. Aku tahu persis keinginan ibuku itu amat kuat. Ia sudah terlalu tua untuk berjalan, tetapi ia selalu membicarakan Ka’bah, dan kapan saja ia memikirkannya, air matanya bergelinang. Aku tak sampai hati melihatnya seperti itu, maka aku membawanya di dalam keranjang ini sepanjang perjalanan dari Suriah ke Baitullah. Sekarang, kami sedang thawaf di Ka’bah! Orang-orang mengatakan bahwa hak orangtua sangat besar. Pemuda itu bertanya, “Ya Imam, apakah aku dapat membayar jasa ibuku dengan berbuat seperti ini untuknya?” Hasan al-Bashri menjawab, “Sekalipun engkau berbuat seperti ini lebih dari tujuh puluh kali, engkau takkan pernah dapat membayar sebuah tendanganmu ketika engkau berada di dalam perut ibumu!”

“Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi

Tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia”

***

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

*********

PEMIMPIN ADALAH PELAYAN



“Imam al-Qawm Khadimuhum” (Pemimpin rakyat adalah pelayan mereka), begitu kata pepatah Arab yang diajarkan Kiyai kepada para santrinya.  Farid Essac dalam bukunya “On Being A Muslim”, mengutip cerita sangat menarik dari Imam Al Ghazali. “Dua orang sahabat ; Abu Ali dan Abdullah pergi ke luar kota. Sesuai petunjuk Nabi Abdullah mengusulkan agar ada orang yang memimpin perjalanan. Abu Ali merasa Abdullah pantas memimpin, karena dia memiliki kualifikasi sebagai pemimpin, antara lain: berilmu, berakhlaq baik, tegas, dan pelindung. Abdullah tidak menolak atas saran temannya itu.
Sebelum berangkat kedua orang itu mempersiapkan bekal yang dukup untuk perjalanan mereka. Adullah mulai tampil memerankan diri sebagai pemimpin. Dia mengangkat satu karung padat berisi bekal perjalanan itu. Ketika Abu Ali menawarkan diri untuk membawanya, Abdullah menolak sambil mengatakan : “Akulah yang membawanya. Bukankah aku sudah siap memimpin?. Kamu harus mematuhi aku”. Abu Ali mengangguk dan tak bisa berkata apa-apa. Mereka berjalan kaki melintasi gurun pasir dan lembah sampai malam tiba. Mereka singgah untuk bermalam di balik batu gunung. Abdullah meminta Abu Ali tidur lebih dulu. Manakala kemudian Abdullah bersiap merebahkan tubuhnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Abdullah segera bertindak, berdiri di atas kepala Abu Ali dan melindunginya dengan mantelnya. Abu Ali terbangun dan berkata kepada dirinya sendiri : “kamu memang pemimpin”.
Abdullah terus berdiri sepanjang malam dalam keadaan basah kuyup sampai hujan mereda. Pikirannya selalu berkata bahwa seorang pemimpin adalah pelayan dan pelindung. Kalimat ”Imam al Qawmi Khadimuhum” yang pernah disampaikan gurunya selalu berdengung di kepalanya.
Kita sudah lama tidak menemukan seorang pemimpin seperti Abdullah. Yang paling populer adalah sebaliknya ; rakyat menjadi pelayan dan melindungi pemimpinnya. Semoga Allah mengampuni dan merahmati Abdullah. Semoga pula akan banyak orang seperti Abdullah

MENGKAJI ULANG FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI



Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami
disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham  ittihad
(persatuan mistik, mystical union) dalam arti seorang telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur
bersatu dengan eksistensi  Tuhan. Munculnya faham ini telah
menimbulkan sikap dan pandangan pro kontra di kalangan ulama.
Tulisan ini berupaya mengkaji ulang persoalan ini dalam sudut
pandang pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah dunia
rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali
berada di luar lingkungan rasional. Perlu disadari bahwa sebelum
terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’.
Dalam kondisi demikian tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa
digunakan untuk menilai suatu  ekspresi luar biasa (syathahat)
yang keluar dari mulut seseorang yang dalam  keadaan sadar.
Hanya sangat disayangkan pengalaman sufistik seperti itu sering
terungkap kepada khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang
menyesatkan karena secara  lahiriah melanggar prinsip  tanzih
dalam ajaran Islam.
Kata kunci: Fana’, baqa’, ittihad, syathahat.
PENDAHULUAN
Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa
bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam,
bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada
tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini (Fariduddin
al-Attar, 1979: 100). Makamnya yang  terletak di tengah kota menarik
                                               
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin dan
Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan
denngan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M.
didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol,
Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah
seoarang keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259).   
Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad 
ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama
Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui
tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang
tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan
mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka (Fariduddin
al-Attar, 1979: 101-105).
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam
menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu
tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga
tentang   fana’  dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan,        
tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya
(Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).   
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahaid itu
adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan
dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia,
zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir
ini  ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak
mengingat apa-apa lagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran
yang berbeda dengan ajaran-ajaran  tasawuf sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi
sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak
pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikutpengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali
mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir
akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan
dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid
dipandang sebagai pembawa faham  al-fana’  dan  al-baqa’ serta sekaligus
pencetus faham al-ittihād;  dan  A. J. Arberry menyebutnya sebagai “first of the ‘intoxicated’ sufis”. (Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk
kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).
Apa yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang
menjadi inti dari ajaran  tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian
kedua berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa
seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa
kesimpulan.
AJARAN TASAWUF ABU YAZID
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah
perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa
arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad (Irfan Abdul Hamid
Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan
oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut:
Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan
latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya.
Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan
(asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada
wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,
bersatu dengan kecintaan,  ittihād fil mahbub, bertemu dengan
Tuhan,  liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai
yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:
169).
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan
(al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui
fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi
dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu ?
1. Al-Fana’ dan Baqa’
Secara logawi, fana’  berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang
atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya
fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:
“The complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting
life in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973:  214). Yakni, “Kelengkapan
dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di
dalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini  memang dapat dilihat dari fahamfaham sufi berikut :
- ﻣﻦ ﻓ ﻋﻦ ﺍﺨﺎﻟﻔﺎﺕ ﺑﻘﻰ ﻮﺍﻓﻘﺎﺕ 
- ﻣﻦ ﻓ ﻋﻦ ﺍﻷﻭﺻﺎﻑ ﺍﺬﻣﻮﻣﺔ ﺑﻘﻰ ﺑﺎﻻﻭﺻﺎﻑ ﺍﻤﻮﺩﺓ 
- ﻣﻦ ﻓ ﻋﻦ ﺃﻭﺻﺎﻓﻪ ﺑﻘﻰ ﺑﺄﻭﺻﺎﻑ ﺍ 
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan
tinggal ialah taqwanya. 
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak)  yang buruk,
tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya
sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 80)
Dalam istilah tasawuf,  fana’  berarti penghancuran diri yaitu       
al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan  al-fana’ ‘an al-nafs  ialah
hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh
kasarnya dan alam sekitarnya.
Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :
ﻓﻨﺎﺅﻩ   ﻋﻦ    ﻧﻔﺴﻪ   ﻭ ﻋﻦ    ﺍﻠﻖ    ﺑﺰﻭﺍﻝ      ﺇﺣﺴﺎﺳﻪ   ﺑﻨﻔﺴﻪ  
ﻭﻬﻢ.......  
ﻓﻨﻔﺴﻪ   ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ   ﻭﺍﻠﻖ   ﻣﻮﺟﻮﺩﻭﻥ   ﻭﻟﻜﻨﻪ   ﻻ ﻋﻠﻢ   ﻟﻪ   ﻬﻢ 
ﻭﻻﺑﻪ  Fananya seseorang dari dirinya  dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi  pada mereka dan pada dirinya     
(Al-Qusyairi, t.th: 37).
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi
pengertian fana’ ini sebagai berikut :
ﺍﻟﻔﻨﺎﺀ ﺣﺎﻟﺔ ﻧﻔﺴﻴﺔ ﺗﻨﻤﺤﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻼﺋﻖ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﻜﻮﻥ ﻭﺍﻟﻨﻔﺲ
ﺩﻭﻥ ﺍﻥ ﺗﻨﺤﻰ ﺑﺸﺮﻳﺘﻪ 
Fana, keadaan  jiwa yang menghilangkan hubungan manusia
dengan alam dan raganya,  bukan menghilangkan wujud
kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).
Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim
Madkur berarti :
ﻧﻈﺮﻳﺔ ﺗﺘﻠﺨﺺ ﺫﻫﺎﺏ ﺍ ﻭﺍﻟﻮﻋﻰ ﻭﺍﻧﻌﺪﺍﻡ ﺍﻟﺸﻌﻮﺭ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ
ﻭ ﺑﺎﻟﻌﺎﺎﺭﺟﻰ ,  ﻭﺍﺤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺮﺏ ,  ﻓﻴﻔ ﺍﻟﻌﺒﺪ
ﺷﺨﺼﻪ ,  ﻭ ﻳﺒﻘﻰ ﺭﺑﻪ ,  ﺑﻌﺪ ﺎﻫﺪﺓ   ﻭ ﺎﻟﺪﺓ ﻭ ﺗﺼﻔﻴﺔ
ﻟﻠﻨﻔﺲ 
 
Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang
hilangnya kesadaran dan perasaan  pada diri dan alam sekitar,
terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya
seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam
wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta
pembersihan jiwa (Ibrahim Madkur, 1979: 141). Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass
away from self (fana’) is to realize that self does not exist, and that nothing
exista except God (tauhid)” (R. A. Nicholson, 1973: 50).
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah  fana’  kata
Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat
diringkaskan sebagai berikut : 
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang  Tuhan. Yang dimaksud dengan 
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifatNya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)                  
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi 
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson  mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of  the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”.
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan  fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang
sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini
mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi
(al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya
sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan
menyatu dengan wujud-Nya (Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72).
Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
- ﺃﻋﺮﻓﻪ ﻓﻨﻴﺖ ﻋﺮﻓﺘﻪ ﺑﻪ ﻓﺤﻴﻴﺖ 
- Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur,
kemudian aku tahu pada-Nya melalui  diri-Nya maka akupun
hidup.
Dan katanya pula :
 - ﺟﻨ ﻓ ﻤ ﺖّ ﺟﻨ ﺑﻪ ﻓﻌﺸﺖ ...... ﻓﻘﻠﺖ ﺍﻨﻮﻥ     
ﻓﻨﺎﺀ  ﻭ ﺍﻨﻮﻥ ﺑﻚ ﺑﻘﺎﺀ 
- Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati;
kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup,
………..aku berkata : Gila pada  diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution,
1973: 81)
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu
kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi  yaitu kalau wujud jasmaninya tidak
ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah
wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan
kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya al-fana’ ‘an al-nafs. 2. Al-Ittihād
Dilihat dari sudut etimologi,  ittihād (al-Ittihād) berarti peratuan,
Dalam kamus sufisme berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād
kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana  yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu (Harun Nasution, 1973: 82).
Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat
tertinggi yang dapat dicapai dalam  perjalanan jiwa manusia. Orang yang
telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,
terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh
telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapanucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat (Ibrahim
Madkur, 1979: 2).
Ittihād  itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat
menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh
kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya.
Menurut Nicolson, dalam faham  ittihād hilangnya kesadaran adalah
permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan
adanya kesadaran terhadap dirinya  sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang
disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran  (“abiding after
passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’)
yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād  itu adalah pemberian
Tuhan kepada seorang sufi (Nicholson, 1973: 218).
Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk
mencapai  ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan
datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan
kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan  jiwa sebagaimana
dikemukakan di atas.
Dalam  Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun
Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua
wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara
sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1973: 82-83). Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî
al-tauhîd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan
tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa
mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :
ﺭﻓﻌ ﺍﷲ ﻣﺮﺓ ﻓﺄﻗﺎﻣ ﻳﺪﻳﻪ ﻭ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺍﺑﺎ ﻳﺰﻳﺪ :  ﺍﻥ ﺧﻠﻘﻰ
ﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﺮﻭﻙ ﻓﻘﻠﺖ ﺯﻳ ﺑﻮﺣﺪﺍﻧﻴﺘﻚ ﻭﺍﻟﺒﺴ ﺍﻧﺎﻧﻴﺘﻚ ﻭ ﺍﺭﻓﻌ
ﺃﺣﺪﺑﺘﻚ ﺣ ﺍﺫﺍ ﺭﺍ ﺧﻠﻘﻚ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺭﺃﻳﻨﺎﻙ ﻓﺘﻜﻮﻥ ﺃﻧﺖ ﺫﺍﻙ
ﻭﻻ ﺃﻛﻮﻥ ﺃﻧﺎ ﻫﻨﺎﻙ 
Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia
berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku
Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang
kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana  
(Abdul Qadir Mahmud, t.th: 313).
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini  merupakan ilustrasi proses
terjadinya  ittihād.  Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam
ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada
sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād
ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :
ﻗﺎﻝ :  ﻳﺎ ﺍﺑﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺇﻬﻢ ﻛﻠﻬﻢ ﺧﻠﻘﻰ ﻏ ﻓﻘﻠﺖ :  ﻓﺄﻧﺎ ﺃﻧﺖ ﻭ
ﺃﻧﺖ ﺃﻧﺎ ﻭ ﺃﻧﺎ ﺃﻧﺖ  Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah
aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
ﺃﻧﺎ ﺍﷲ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﺎ ﻓﺎﻋﺒﺪ 
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain
Aku, maka sembahlah Aku (Harun Nasution, 1973: 86).
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu
seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian
maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai
gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan,
karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu
Yazid dalam  ittihād  berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi
Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid
menjelaskan :
ﻷﻧﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﻨﺴﺎ ﺃﻣﺎ ﺃﻧﺎ ﻓﻘﺪ ﻓﻨﻴﺖ 
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri 
dalam keadaan fana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310).
Oleh karena itu sebenarnya  Abu Yazid tidak mengaku dirinya
sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid
sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan
ittihād.
TINJAUN
Seperti dikemukan diatas, semenjak masanya Abu Yazid pendapat
sufi condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul
sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini
hanyalah bayangan dari “realita”  yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satusatunya wujud yang hakiki hanyalah  wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan
khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan.
Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka
berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari
hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia
merupakan pancaran Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh
karena itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali
dengan sumber asalnya.
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya  seesensi
dengan Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya
apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi
sehingga ia tidak menyadari pribadinya, fana’ ‘an al-nafs (Team Penyusun
Naskah, 1981/1982:  160). Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu
menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari
alam sekelilingnya, ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber
asalnya. Ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan
menyatu padu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya
satu. Keadaan seperti inilah yang disebut  ittihād, yang oleh Abu Yazid
disebut tajrîd fanā’ fî al-tauhîd. 
Nampaknya kontroversi sekitar faham  fana’,  baqa’  dan  ittihād
dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Masalahnya apakah ia
berasal dari ajaran Islam atau import dari luar ?. Ibrahim Madkur melihat
bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf
Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi
menjadi dua kelompok: ada yang menerimanya tetapi juga ada yang
menolaknya (Ibrahim Madkur, 1976: 65).
Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham
ittihād  ini sebenarnya tidak bersumber   dari Islam. Katanya, al-Qur’an
dengan ungkapan yang tegas, secara  mutlak, tidak memberi tempat pada
adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal
untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi (Ibrahim
Madkur, 1976: 65). Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar
Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan :
Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang
dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hambaNya, seperti ayat : “Kami  lebih dekat padanya dari pada kedua urat
leharnya” (Qur’an L : 16). ayat :   “Ia  (Tuhan)  selalu  bersama
kamu, dimanapun kamu berada” (Qur’an), ……. (Aboebakar Atjeh,
1984: 137).
Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi :
Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan
hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan
kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan
segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia
mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku
menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya
untuk melihatnya. (Aboebakar Atjeh, 1984: 137).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf
Islam ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena
faham nirwana dalam ajaran Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham
fana’ dalam tasawuf. Untuk  mencapai nirwana orang harus meninggalkan
dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
Dikatakan, ajaran-ajaran non Islam seperti ajaran Buddhaisme ini,
masuk ke dalam ajaran Islam seperti dalam tasawuf, adalah akibat logis dari
perluasan daerah kekuasaan Islam, pertemuan berbagai suku bangsa,
kebudayaan, agama dan kepercayaan di dalam satu wadah pergaulan
pemerintahan Islam pasti akan saling mempengaruhi antara yang satu
dengan lainnya.
Dalam persoalan ini Nicholson  mengatakan bahwa konsepsi sufi
tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India.
Penganjurannya seorang ahli mistik  Persi, Bayazid dari Bistam mungkin
telah menerima dari gurunya, Abu Ali  dari Sind (India). Tambahan lagi
bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam
Buddhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan timur Persia dan
Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat dipastikan adanya pengaruh terhadap perkembangan  ajaran tasawuf di daerah tersebut (Nicholson,
1975: 17-18, Saiyid Athar Abbas Rizvi, 1978: 44-45).
Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham  fana’, baqa’
dan  ittihād  ini berasal dari luar Islam (Buddhisme). Namun keteranganketerangan yang ada belum memberikan kepastian dalam keputusan kepada
kita, karena analisis yang diberikan hanya berupa pemikiran-pemikiran
belaka. Saya kira, terlepas dari maksud untuk menerima atau menolaknya,
faham ini dapat  saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari al-Qur’an 
ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman          
ayat 26-27 :
ﻞﱡ ﻣَ ﻦْ ﻋَﻠﻴْﻬَﺎ ﺎ ﻥٍ , ﻭَﻳَﺒْﻘ ﻭَﺟْ ﻪُ ﺭَ ﺑﱢ ﻚَ ﺫ ﺍ ﻟ ﺠَ ﻼ ﻭَﺍﻹِﻛﺮَﺍﻡ 
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal     
Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.                 
(Al-Rahman/55 : 26-27)
Dan sabda Rasulullah saw. :
ﻛﻨﺖ ﻛ ﻔﻴﺎ ﻓﺄﺣﺒﺒﺖ ﺃﻥ ﺃﻋﺮﻑ ﻓﺨﻠﻘﺖ ﺍﻠﻖ ﻋﺮﻓﻮ  
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku
merekapun kenal pada-Ku (Harun Nasution, 1973: 61).
Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham yang
dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering
diselewengkan maksudnya. Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita
melihat penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak
memaksakan pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan  ayat atau hadis
yang digunakan kaum sufi, karena  ayat atau hadis tersebut dapat
mengandung lebih dari satu arti. Kita mengenal biasanya orang sufi
mengambil arti batin, arti yang tersirat; sementara orang lain mengambil arti lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai tasawuf dengan norma-norma atau
nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka, sehingga berkesimpulan bahwa
ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak bersumber dari
ajaran Islam.
Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham  ittihād
adalah tidak mungkin terjadi persatuan  antara dua subtansi (zat), antara
manusia dengan Tuhan. Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun
mengatakan :  
 ......ﺍﻻﺎﺩ ﻓﺬﻟﻚ ﺍﻳﻀﺎ ﺍﻇﻬﺮ ﺑﻄﻼﻧﻪ ﻻﻥ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﺍﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ
ﺻﺎﺭ ﻫﻮ ﺍﻟﺮﺏ ﻛﻼﻡ ﻣﺘﻨﺎﻗﺾ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﺍﻥ ﻳ ﺍﻟﺮﺏ
ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻋﻦ ﺍﻥ ﺮﻱ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ   ﺣﻘﻪ ﺑﺄﻣﺜﺎﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﺎﻻﺕ
ﻧﻘﻮﻝ ﻗﻮﻻ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺍﻥ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﺍﻥ ﺷﻴﺌﺎ ﺻﺎﺭ ﺷﻴﺌﺎ ﺍﺧﺮ ﺎﻝ
ﺍﻹﻃﻼﻕ 
…….., Demikian juga ittihād, nampak sekali salahnya, karena
perkataan seseorang bahwa seorang hamba dapat menjadi Tuhan
adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal
seyogyanya dia mensucikan diri  dari segala perkataan yang
mustahil-mustahil ini. Kita dapat berkata dengan tegas (mutlak)
bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat menjadi sesuatu yang lain
adalah mutlak mustahilnya (Muhammad al-Sadiq Arjun,1967: 118).
Jika kita kembali kepeda pengertian ittihād seperti yang terurai di
atas, bukanlah yang dimaksud dengan ittihād itu berpadunya dua subtansi
menjadi satu, tetapi merupakan satu keadaan rohani yang diperoleh melalui 
al-fana’ ‘an al-nafs,  yakni hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud
dirinya dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Hal ini
dalam ungkapan sufi sebagaimana dikutipkan di atas, tidak ubahnya seperti
hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan  hancurnya hal-hal ini,
maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik. Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya faham
ittihād dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan. Saya
kira ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat ajaran
tasawuf, khususnya faham ittihād selama ini :
1. Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang cocok
untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma
yang mereka yakini.
2. Mereka menggunakan batasan ittihād menurut persepsinya.
ITTIHĀD  DI PAHAMI SEBAGAI PERSATUAN DUA SUBTANSI,
MANUSIA DENGAN TUHAN, YANG TERJADINYA BERDIRI
SENDIRI-SENDIRI  
Tasawuf atau sufisme, sebagaimana halnya dengan mistisisme
diluar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan  sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirad Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di
dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya kemonikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesaaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil
bentuk ittihād (Harun Nasution, 1973: 56). Tujuan utama yang menjadi inti
ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah
sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19).
Menurut  Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia
yang mebngarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat
merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah) (Ibrahim Basyuni, t.th:
28). 
Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau
tidak, bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan
hasil pengamatan panca indera atau  penalaran rasio, tetapi merupakan
penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mystical
experience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut
fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang
termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk cinta itu, sang
sufi akan mengalami penghayatan  wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan:
“Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan” (Simuh, 1997: 104). 
Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui
konsentrasi dalam zikir, yang oleh  sufi disebut dengan menenggelamkan
hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman
dan prenghayatan  fana’ secara total pada Allah.  Fana’ adalah proses
beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan
atau alam batin. Oleh kerena itu kondisi  fana’ merupakan bagian yang
esensial dalam tasawuf. 
Proses terjadinya  fana’ hingga mencapai  ittihad aau menyatu
dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat
peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
memulai menyaksikan keindahan  wajah Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya
kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah
mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap
kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur
menyatu dalam wujud Allah. (Simuh, 1997: 106).
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya  itihad
seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan
alam sekelilingnya lantaran seluruh  kesadarannya telah  beralih  dan
terpusat ke alam batin. Itulah  baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam
tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat  kedua mulai menyaksikan langsung
apa yang mereka  yakini sebagai  zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan
ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu  fana’.
Pada tingkat  ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ alfana’,  yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya  lantaran telah
terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.
Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam
kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai
berikut: ﻤﱠﺎ ﺳَ ﻤِ ﻌَ ﺖْ ﺑ ﻤَ ﻜ ﻫِ ﻦﱠ ﺃ ﺭْ ﺳَ ﻠ ﺖْ ﺇ ﻴْ ﻬ ﻦﱠ ﻭَ ﺃ ﻋْ ﺘَ ﺪَ ﺕْ ﻟ ﻬُ ﻦﱠ ﻣُ ﺘﱠ ﻜ ﻭَ ﺀَ ﺍ ﺗَ ﺖْ
ﻞﱠ ﻭَ ﺍ ﺣِ ﺪَ ﺓٍ ﻣِ ﻨْ ﻬُ ﻦﱠ ﺳِﻜﱢﻴﻨًﺎ ﻭَ ﻗ ﺎ ﻟ ﺖِ ﺍ ﺧْ ﺮُ ﺝْ ﻋَ ﻠ ﻴْ ﻬ ﻦﱠ ﻓﻤﱠﺎ ﺭَ ﺃ ﻳْ ﻨَ ﻪُ ﺃ ﺒَ ﺮْ ﻧَ ﻪُ
ﻭَ ﻗ ﻄﱠ ﻌْ ﻦَ ﺃ ﻳْ ﺪِ ﻳَ ﻬُ ﻦﱠ ﻭَ ﻗ ﻦَ ﺣَ ﺎ ﺵَ ﻟِ ﻠﱠ ﻪِ ﻣَﺎ ﻫَﺬ ﺑَﺸَﺮًﺍ ﺇ ﻫَﺬﻟﱠﺎ ﻣَ ﻠ ﻚٌ
ٌ.
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,
diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka
tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka
sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata
(kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada
mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya
dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.
(Yusuf/12: 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini
baru ketuhanan seorang makhluk  tatkala menyaksikan keindahan makhluk
lain.sudah  fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati
terbukanya  tabir lalu menyaksikan  keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak
mengherankan bila dia  fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik
sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf
yang ganteng  mereka telah  terpesona hingga tak sadar, memotong jari
mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona
melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan katakata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas
patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties
of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman
mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan
mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan. 1. Tidak bisa diungkapkan.  Orang yang mengalaminya mengatakan
bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian
manapun yang memadai  untuk bisa mengisahkannya dalam katakata. Ini berarti bahwa kualitas semacam  ini harus  dialami secara
langsung dan tidak bisa diberikan  atau dipindahkan kepada orang
lain.
2. Kualitas neotik.  Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan,
bagi orang yang mengalami situasi  mistis ini juga adalah situasi
berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan
tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek
yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa  pencerahan
dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa
dirasakan.
3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam
waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang
jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum
kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau
paling lama satu atau dua jam.
4. Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa
tindakan pendahuluan yang dilakukan  secara sengaja, seperti
melakukan pemusatan pikiran,  gerakan tubuh tertentu, atau
menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku
panduan  mistisime.  Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang
ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk
sementara hasratnya menghilang  dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi (William James,
2004: 506-508).
Dengan  mengikuti  keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad 
Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang
sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat
bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit,
bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan
dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu,
hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri
dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar bias.
KESIMPULAN 
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustani
dipandang sebagai pencetus tahun fana’, baqa’ dan ittihad, fana ‘ dan baqa’
merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad
itu barutercapai setelah melewati fana dan baqa.
Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan
ujud dirinya (al-fana ‘an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an alKhaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan  fana’     
(al-fana ‘an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay 
terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi
Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah
Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah
bersatu dengan Allah (ittihad)
Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks
kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh
pengkajian tasawuf. Pro kontra faham  ittihad harus dilihat dari sudut ini.
Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap
menerimanya.
2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan
hanya dengan nalar intelik.
3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya
berlangsung dua jam.
4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran  
terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi
kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum  sufi’, ekstase itu
sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman
kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman
yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan  dlamir  
al-sya’n, yaitu kata  “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath
pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka
menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia
yang Maha Ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arberry, A. J.,  Sufism An Account of the Mystics of Islam,  Unwin
Paperbacks, London, 1979.
Arjun, Muhammad al-Sadiq,  Al-Tasawwuf fi al-Islam Manabi’uhu wa
Atwaruhu, Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah, Cairo, 1967.
Atjeh, Aboebakar,  Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo,
1984.
Al-Attar, Fariduddin, Muslim Saints and Mystics, terjemahan A. J. Arberry,
Reutledge & Regan Paul, London, 1979.
Basyuni, Ibrahim,  Nasy’atu al-Tasawwuf al-Islamy,Dar al-Ma’arif, Cairo,
t.t.
Fattah, Irfan Abdul Hamid,  Nasy’atu al-Falsafah al-Sufiyah wa
Tatawwuruhu, al-Maktab al-Islamy, Bairut, 1973.
Hassan, Abd al-Hakim,  Al-Tasawwuf fi al-Syi’ri al-‘Arabi,  Maktabah       
al-Anjalu al-Misriyah, Mesir, 1954.
James, William, The Varietiės of Religion Experience, diterjemahkan oleh,
Gunawan Admiranto,  Perjumpaan dengan Tuhan,  Mizan,
Bandung, 2004.
Madkur, Ibrahim,  Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu,  I,                 
Dar al-Ma’arif, Cairo, 1976. 
-------------,  al-Mu’jam al-Falsafy,  al-Hai’ah al-‘Ammah li Syu’ub            
al-Matabi’  al-Amiriyah,  Cairo, 1979. Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri alAraby, Cairo, t.t.
Nasution, Harun,  Falsafat & Mistisisme dalam Islam,  Bulan Bintang,
Jakarta, 1973.
 
Nicholson, R. A., Studies in Islamic Mysticism, Cambridge University Press,
London, 1973.
-------------,  The Mystics of  Islam, Routledge and Kegan Paul, London,
1975.
Al-Qusyairi,  al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kutub al-‘Arabiyah          
al-Kubra, Cairo, t.t.
Rizvi, Saiyid Athar Abbas,  A History of Sufisme in India,  Munashiram
Manoharlal, New Delhi, 1978.
Simuh,  Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam,  PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Binperta IAIN
Sumatera Utara, Medan, 1981/1982.